Jangan Ragu Untuk Menuntut Ilmu

Jumat, 08 Juni 2012

RPP Deduktif-Induktif

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

   A.  STANDAR KOMPETENSI
Menulis: menggungkapkan pikiran, pendapat, dan informasi dalam penulisan karangan berpola deduktif dan induktif.

   B.  KOMPETENSI DASAR
Menulis karangan berdasarkan topik tertentu dengan pola pengembangan deduktif dan induktif.

 C.   INDIKATOR
   a.  Kognitif
     Proses
    Menemukan kalimat yang mengandung gagasan utama pada paragraf
    Menemukan kalimat penjelas yang mendukung kalimat utama
    Menemukan paragraf induktif dan deduktif
    Produk
    Menentukan kalimat yang mengandung gagasan utama pada paragraf
    Menentukan kalimat penjelas yang mendukung kalimat utama
    Menentukan paragraf induktif dan deduktif
    b. Psikomotor
    Menjelaskan perbedaan paragraf deduktif dan induktif
    c. Afektif
    Karakter
    tanggung jawab
    kritis
     disiplin
    Keterampilan sosial
    Berbahasa santun dan komunikatif
    Partisipasi dalam (kerja sama) kelompok
    Membantu teman yang mengalami kesulitan

    C. TUJUAN PEMBELAJARAN
    a. Kognitif
     Proses
Setelah membaca dan memahami ragam wacana tulis dengan membaca intensif dan membaca nyaring, siswa secara berkelompok diharapkan dapat
    Menemukan kalimat yang mengandung gagasan utama pada paragraf
    Menemukan kalimat penjelas yang mendukung kalimat utama
    Menemukan paragraf induktif dan deduktif
    Produk
Setelah menemukan hasil pencapaian tujuan proses di atas, siswa secara berkelompok diharapkan dapat
    Menentukan kalimat yang mengandung gagasan utama pada paragraf
    Menentukan kalimat penjelas yang mendukung kalimat utama
    Menentukan paragraf induktif dan deduktif
    b. Psikomotor
Setelah menentukan dan memahami hasil pencapaian tujuan produk di atas, siswa secara mandiri diharapkan dapat
    Menjelaskan perbedaan paragraf deduktif dan induktif 
    c. Afektif
    Karakter
Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memperlihatkan kemajuan dalam berperilaku yang meliputi sikap
    tanggung jawab
    kritis
     disiplin
    Keterampilan sosial
Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memperlihatkan kemajuan kecakapan sosial yang meliputi
    Berbahasa santun dan komunikatif
    Partisipasi dalam (kerja sama) kelompok
    Membantu teman yang mengalami kesulitan

   D.  MATERI PEMBELAJARAN
    Paragraf yang berpola deduktif dan induktif
    Kalimat utama dan kalimat penjelas
    Perbedaan deduktif dan induktif

    E. MODEL DAN METODE PEMBELAJARAN
    Pendekatan: Pembelajaran Kontekstual
    Model Pembelajaran: Kooperatif Tipe STAD
    Metode: tanya jawab, pemodelan, penugasan, dan unjuk kerja

    F. BAHAN DAN MEDIA
    Wacana tulis (artikel)
    LKS
    Kertas HVS
    ALAT
    Spidol
    Format evaluasi
    Pedoman penilaian dan penskoran

    G. SKENARIO PEMBELAJARAN

No.KegiatanPenilaian Pengamatan


1  2  3  4
1.Kegiatan Awal (15):
Tahap 1 (5 menit): Pemancingan dengan mula-mula menanyakan kesiapan belajar siswa, lalu menanyakan pengetahuan dan pengalaman siswa tentang paragraf.
Tahap 2 (10 menit): Pengarahan dengan mula-mula bertanya jawab tentang jenis-jenis paragraf  berdasarkan letak kalimat utamanya, kemudian diakhiri dengan penegasan guru tentang tujuan pembelajaran yang harus dicapai dalam proses pembelajaran pada pertemuan itu.  

2.Inti(55 menit): guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok, kemudian memberikan pemahaman kepada siswa mengenai paragraf deduktif dan induktif, serta perbedaan antara kalimat utama dan kalimat penjelas              
3.Akhir Siswa bersama guru merumuskan kesimpulan umum atas semua butir pembelajaran yang telah dilaksanakan;
    Siswa  diminta menyampaikan kesan dan saran (jika ada) terhadap proses pembelajaran yang baru selesai mereka ikuti;
    Guru menugaskan siswa untuk mencari artikel di media masa yang akan mereka identifikasi paragraf deduktif dan induktif  


   H.  SUMBER PEMBELAJARAN
    Wacana tulis
    Materi Essensial MGMP Sekolah
    Lembar Pegangan Guru
    LKS 1 ; LKS 2
    LP 1 ; LP 2
    Silabus

   I.  EVALUASI DAN PENILAIAN
1. Evaluasi
    Evaluasi Proses: dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap aktivitas peserta  (siswa) dalam menggarap tugas, diskusi, kegiatan tanya jawab, dan dialog informal.
    Evaluasi Hasil: dilakukan berdasarkan analisis hasil pengerjaan tugas dan pengerjaan tes, dan pengamatan unjuk keterampilan (performance)

     2. Penilaian
    a. Jenis Tagihan Penilaian: LKS 1 dan LP 1, LKS 2 dan LP 2, , LP 4, LP 5
    Tugas Individu: menggunakan LKS 3 ; LP 3
    Bentuk Instrumen Penilaian:
    Uraian bebas
    Jawaban singkat
    Pilihan ganda



Satuan Pendidikan    : SMA
Mata Pelajaran          : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester          : XI/I
Standar Kompetensi   : Membaca
Kompetensi Dasar     : Menemukan perbedaan paragraf induktif dan deduktif melalui kegiatan           membaca intensif


LEMBAR PEGANGAN GURU
 (LPG)

Pengertian Paragraf
     Paragraf (dari bahasa Yunani paragraphos, “menulis di samping” atau “tertulis di samping“) adalah Unit terkecil sebuah karangan yang terdiri dari kalimat pokok atau gagasan utama dan kalimat penjelas atau gagasan penjelas. Paragraf dikenal juga dengan nama lain alinea. Paragraf dibuat dengan membuat kata pertama pada baris pertama masuk ke dalam (geser ke sebelah kanan) beberapa ketukan atau spasi.
    Syarat sebuah paragraf di setiap paragraf harus memuat dua bagian penting, yakni :
    Kalimat utama
Biasanya diletakkan pada awal paragraf, tetapi bisa juga diletakkan pada bagian tengah maupun akhir paragraf. Kalimat pokok adalah kalimat yang inti dari ide atau gagasan dari sebuah paragraf. Biasanya berisi suatu pernyataan yang nantinya akan dijelaskan lebih lanjut oleh kalimat lainnya dalam bentuk kalimat penjelas.
    Kalimat Penjelas
    Kalimat penjelas adalah kalimat yang memberikan penjelasan tambahan atau detail rincian dari kalimat pokok suatu paragraf.

2. Jenis Paragraf Berdasarkan Letak Kalimat Utama
    Letak kalimat utama juga turut menentukan jenis paragraf. Penjenisan paragraf berdasarkan letak kalimat utama ini terbagi atas 4 yakni :
    Paragraf Deduktif
Paragraf dimulai dengan mengemukakan persoalan pokok atau kalimat utama. Kemudian diikuti dengan kalimat-kalimat penjelas yang berfungsi menjelaskan kalimat utama. Paragraf ini biasanya dikembangkan dengan metode berpikir deduktif, dari yang umum ke yang khusus.
     Dengan cara menempatkan gagasan pokok pada awal paragraf, ini akan memungkinkan gagasan pokok tersebut mendapatkan penekanan yang wajar. Paragraf semacam ini biasa disebut dengan paragraf deduktif, yaitu kalimat utama terletak di awal paragraf.

    Paragraf Induktif
     Paragraf ini dimulai dengan mengemukakan penjelasan-penjelasan atau perincian-perincian, kemudian ditutup dengan kalimat utama. Paragraf ini dikembangkan dengan metode berpikir induktif, dari hal-hal yang khusus ke hal yang umum.

    Paragraf Campuran (Deduktif-Induktif)
     Pada paragraf ini kalimat topik ditempatkan pada bagian awal dan akhir paragraf. Dalam hal ini kalimat terakhir berisi pengulangan dan penegasan kalimat pertama. Pengulangan ini dimaksudkan untuk lebih mempertegas ide pokok. Jadi pada dasarnya paragraf campuran ini tetap memiliki satu pikiran utama, bukan dua.

    Paragraf Tersebar
     Paragraf ini tidak mempunyai kalimat utama, berarti pikiran utama tersebar di seluruh kalimat yang membangun paragraf tersebut. Bentuk ini biasa digunakan dalam karangan berbentuk narasi atau deskripsi.



DAFTAR PUSTAKA
Irawan, yudi (dkk). 2007. Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Perbukuan
               

LEMBAR PENILAIAN


LP 1 : KOGNITIF PROSES

Pedoman Penskoran LKS 1

No.KomponenDeskriptorSkorBobotSkor x bobotCatatan
1.Menemukan kalimat utama dan kalimat penjelas dalam  paragraf   
a.Dapat menemukan kalimat utama  dan kalimat penjelas pada semua paragraf


b.Hanya dapat menemukan kalimat utama  dan  kalimat penjelas pada beberapa  paragraf .

c.Tidak dapat menemukan  kalimat utama dan kalimat penjelas dalam paragraf
2


1





0
5.

2.Menemukan paragraf yang berpola deduktif dan induktif a.Dapat menentukan paragraf yang berpola deduktif dan induktif  pada semua paragraf

b.Hanya dapat menentukan paragraf yang berpola deduktif dan induktif  pada beberapa  paragraf .

c.Tidak dapat menentukan  paragraf yang berpola deduktif dan induktif  pada semua paragraf 
2





1




0
5

Jumlah






                
Catatan :  0 = Sangat kurang
               1  = kurang 
                2 = baik 
Cara Pemberian Nilai
Rumus: nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum)    X 100
              

LP 2 : KOGNITIF PRODUK
Pedoman Penskoran LKS 2

No.KomponenDeskriptorSkorBobotSkor x BobotCatatan
1.Menentukan kalimat utama dan kalimat penjelas dalam  paragrafa.Dapat menentukan kalimat utama  dan kalimat penjelas pada semua paragraf

b.Hanya dapat menentukan kalimat utama  dan  kalimat penjelas pada beberapa  paragraf .

c.Tidak dapat menentukan  kalimat utama dan kalimat penjelas dalam paragraf. 
  2



 1




  0
5
2.Menentukan paragraf yang berpola deduktif dan induktif a.Dapat menentukan paragraf yang berpola deduktif dan induktif  pada semua paragraf

b.Hanya dapat menentukan paragraf yang berpola deduktif dan induktif  pada beberapa  paragraf .

c.Tidak dapat menentukan  paragraf yang berpola deduktif dan induktif  pada semua paragraf 
           
  2






1






  0
5
Jumlah





                
Catatan :  0 = Sangat kurang
                1  = kurang
                2 = baik 
Cara Pemberian Nilai
Rumus: nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum)    X 100

              
LP 3 = Psikomotor
Pedoman Penskoran LKS 3
Nokomponendeskriptor Skor Bobot Skor x Bobot Catatan
1,Menjelaskan perbedaan paragraf deduktif dan induktifa.Dapat menjelaskan dengan sangat jelas dengan bahasa yang efektif dan santun.

b.Dapat menjelaskan, namun dengan terbata-bata.

c.Tidak dapat menjelaskan apa-apa.  
3



2



0



Jumlah





   
Catatan :  0 = Sangat kurang
                2 = cukup baik
                3 = baik 
Cara Pemberian Nilai
Rumus: nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum)    X 100


LP 4 = Afektif : Perilaku Berkarakter

Petunjuk :
Berikan penilaian atas setiap perilaku berkarakter siswa menggunakan skala berikut :
A = sangat baik            B = memuaskan
C = Cukup baik            D = kurang baik

Format Pengamatan Perilaku Berkarakter
No.Rincian Kinerja TugasMemerlukan Perbaikan (D)Menunjukkan Kemampuan (C)Memuaskan
(B)
Sangat Baik
(A)

1.Tanggung Jawab



2.Kritis



3.Disiplin




                                                                                                Hari/Tanggal :

                                                                                              Guru/Pengamat


                                                                                          (…………………..)



LP 5 = Afektif : Perilaku Keterampilan Sosial

Petunjuk :
Berikan penilaian atas setiap perilaku berkarakter siswa menggunakan skala berikut :
A = sangat baik            B = memuaskan
C = Cukup baik            D = kurang baik

Format Pengamatan Keterampilan Sosial
No.Rincian Kinerja Tugas Memerlukan Perbaikan (D)Menunjukkan Kemampuan (C)Memuaskan (B)Sangat baik
(A)
1.Berbahasa santun dan komunikatif  



2.Partisipasi dalam (kerja sama) kelompok    



3.Membantu  teman yang kesulitan



                       
                                                                                                                                      Hari/Tanggal :                                                                                                                                     Guru/Pengamat


    (…………………..)


MEDIA PEMBELAJARAN
Bacalah Kutipan Artikel Berikut!
Efek Rumah Kaca
    Segala sumber energi yang terdapat di bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika mengenai permukaan bumi, energi berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagi radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun, sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbondioksida dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini.gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi. Akibatnya panas akan tersimpan di permukaan bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata  tahunan bumi terus meningkat.
    Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsenterasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya. Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala mahkluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15˚C (59˚F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33˚C (59˚F) dengan efek rumah kaca (tanpanya suhu bumi hanya -18˚C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan bumi). Akibatnya jumlah gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya.
    Kenaikan suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan.misalnya naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser dan punahnya berbagai jenis hewan
    Beberapa hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi pada masa depan dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perbedaan politik dan publik di dunia mengenai tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut. Sebagian besar Negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca

                                                                                                        Kendari,  Desember 2011
Guru Pamong                                                                                   Mahasiswa KKP      

                                                      
HARLINA, S.Pd                                                                               A R I S
NIP  197605292007012012                                                              A1D1 07 105




                                                                   Mengetahui,
                                             Kepala SMA Kartika VII-2 Kendari



                                                          Drs. H. NP. DAHLAN

Kamis, 07 Juni 2012

PUISI LAMA SUKU MUNA

Oleh: Wa Ode Irawati U.

a.    Mantra
Contoh:
Mantra pontasu
Aniati aghumoti sikuano kalibu ayini
Nipandehaoku pata nipandehaoku
Keseno apandehaane
Anihaemo kawaghoomu hintuumu koemo diyu-diyu
Kafembula mani yini
Artinya:
Saya berniat memberi makan sudut kebun ini
Yang aku ketahui maupun yang tidak
Aku ketahui semua yang dapat kuketahui
Inilah bagian kalian jangan mengganggu
Tanaman kami

b.    Karmina
Contoh:
Sintu bhela mobharu ndoidi bhela radhakiku
Fetingke nagha fetingke nagha ndoidi bhela afekiriko
Artinya:
Kamu merasa senang saya merasa rezekiku
Dengarkanlah itu saya memikirkanmu

c.    Bidal
Contoh:
Diuno anahi amaitu pedamo gata nehela
Artinya:
Sikapnya anak itu sama seperti karet ditarik


d.    Talibun
Gaara pedamo aini late dotungguno dhunia mahlukuno alamu
Sasuka kenta morubu miina mpuu natiangga
Solalondo soohae bhedua kenta morubu
Katamba nando nobhari soihino ngkombotino
Salapasino aitua newatu nokaemo kentahi mombobhalano
Moniwa nililatiomo noepemo ngkagharono
Komboti neuru-uru matano nonsaworomo
 Maumo kenta morubu tanosorobhomo dua

e.    Syair
Nabhalamo namandemo
Natikambo-kambowamo
Dambowamo haenono
Nando kamadiki-dikihindo

f.    Pantun
a)    Pantun Orang Tua
Aefanahi oe sampe noghagha
Gaara kaasi nosalanami
Tadua taokamboi nagha
We sala watu ngkabhari

b)    Pantun Remaja
Mbose itu mpiki suli
Dhehano mbia-bhia
Inodi itu mpaisehi
Koemo momeri ngkanaua

c)    Pantun Nasehat
Aembulumo roono gholo
Aangka dua aeota roie
Fekapande-pande lalo
Nobharighoo tora mbasitie

d)    Pantun Jenaka
Akalamo te watopute
Aangka dua aegholi sanggara
Awura wangkuni nomarampute
Gaara o pae nembaliane bura

e)    Pantun Anak-Anak
Akalamo we sidodadi
Aepake sandali wungo
Maimo keda dapointa-intagi
Dakumala daeota kalembungo

g.    Teka-Teki (Wata-Watangke)
Lili dhawa lili moloku tabhako raa dangino miina orumunsea 

LADHE WUNA

Oleh: Wa Ode Irawati U.

     Dhamani wawono, te liwuntomu witeno wuna nando seghonu lambu dokonae kamali be dhumaganie semie omputo nokonano Omputosangiano wuna, neano La Ode Husaeni. Omputusangia nohakui Omputorimbi padamo nokawinie salamponano fitufulu fitu taghumu. Sesegholeo, Omputosangia dowuleane be aru-aruhino okafehumpuha maitu. Norato sewakutu karondoha, Omputosangia nongkora we kamali kafewulehano tamaka Omputosangia minaho dokoana. Anoa nofikirie namedahae sodokoanagho, no wule no fikiri tandano tano lodo rampano nobalamu alo.
      Rato nomentae, Omputosangia nopoghawawo barita neneangkano welo kamali nandomu mie mengkaratono maeghono we Arabu be patudhuno mefolilino agama Islam. Neano saudagar itu Saidhi Raba. Omputosangia notudu ana buahino sobasi Saidhi Raba rampano Saidhi Raba nodhagani nepandehauno. Pada itu niontagi oraja welo kamali, ana buahino nosulimo ne kamali nadha sikalaha be Saidhi Raba nosuli moisano. Omputosangia nomara rampano mina narumato Saidhi Raba. Ana buahino itu nobisaragho rampano Saidhi Raba nanahumunda nokumala we lambuno Omputosangia rampano Omputusangia nepiara o wewi, Saidhi Raba mina nokumala rampano notimbula wewi ane welo agama Islam no haram.
     Bemkaratohano Saidhi RabA, Omputosangia no relamo nofifelei wewino sumano nopoghawa be Saidhi Raba. Notudu tora ana buahino namoghawagho Saidhi Raba. Kapandano gholeo, noratomu Saidhi Raba we lambuno. Nofenagho noafa Omputosangia noniati namena fikirino Saidhi Raba, pasino nopondeimo nokomohea agama Islam se witeno wuna. Pakatandano, Omputosangia notudu Saidhi Raba sa nabasa we totono lolono. Saidhi nobisara, Omputosangia nopindalo nokoana rampano mie lambuno noghafa. Nobasamo doa Saidhi Raba nesalo nekakawasa tamak minahu notarimae, Saidhi Raba nobasa doa ferapakumo maka notarimae. Miendo lambuno Omputosangia no pangidamo be nobalamo taghino. Oputosangia nopesuamo agama Islam rampano notumpu lalono nobalamo taghimo miendo lambuno. Naho nasumuli nobisara Saidhi Raba ne Omputo, rohi welo kandungano ituokasalo-salo nekakawasa rampano umuruno mieno lambuno notughamo.
     Wambano Saidhi Raba dhadhi fikiri Omputosangia. Noratumu wakutuno sokalentehano anano Omputo. Nokotughumu wambano Saidhi Raba. Anano nolente sebera manusia sebera ghule dokonaemu neano Adhe wuna (La Ode Wuna). Omputosangia nobela lalono nowora anano, ano notarimae rampano maeghonomu wekakawasa. Sesegholeo, pedahae ane norato tamu maeghono we Bugis be Minanggkabau, anano sadhia nefebunie welo guci rampano noambanu.
     Ompulu lima taghu tewise, La Ode Wuna nobalamo. Notandamo dua nopogau be kalambe welo kamali. Adh Wuna nopindalomu dua noguma semia robine, nobisaramo ne Omputo tamaka Omputo nanamindalo ane Adhe Wuna noguma. Sampe norato segholeo, Omputo nobutuemo so Adhe Wuna noghomoroemu rampano noambanu. Omputo noghoroe Adhe Wuna we onggumora we pola, be bakuluno fatofulu fatoghonu ghunteli be fatofulu fatoghulu katupa. Fatofulughami doghoroe we onggumora, La Ode Wuna nohoro telani be norende badhano be nobisara inodi ahoromu telani. Sampe ampahiaitu, omieno liwu minamo damendahane bahi nehamai Adhe Wuna, maka nando dua nobisarana nohoro we Ternate. Meindo Wuna, dokonahae La Ode Wuna semie mandahauno kanandono. Dhadi, miendo Wuna doghondofane Adhe Wuna rampano mie barakati, rampano hamai nobesarane nokotughu.

WA MBONATODO

Oleh: wa Ode Irawati U.

     Wa Mbonatodo anano Omputo Sangia. Dhamani wawono anahi kalambe miina naembali posumpu hula bhe anahi moghane. Dhadhihanomo anahi robhine dofolateda teghahu. Pedamo dua anahi robhine mebharino, Wa Mbonatodo ini nelate dua teghahu (Suo) dodhaganie ghatahino. Sewakutu nobhalamo taghino wa Mbonatodo ini. Mbalimo bisarando mieno liwu we Kamali.
     Bhirita anagha noratomo dua ne Idhano, Omputo Sangia. Nebhasimo sara Omputo Sangai ini mbali somemenano Wa Mbonatodo, bhahi rabu lahae dumadaino Wa Mbonatodo ini,
     Pada kaawu dofefena Wa Mbonatodo ini, nolaporomo sara, “ Ingka nodai-daie La Beluba anabulou, randano ghaghe waopu”. Nefetingke laporo anagha, aitu nobisaramo ne sara Omputo ini, “ Netaamo dakumakape La Beluba kapa sokae tontoha, sokaetubhoha. Aitu kapeno dakumantaie ne fato kampuna soniwora mie bhari. Pada kaawu anagha domufakamo sara, tantuno dakumakape La Beluba ini.
    Lapasi dofenae sara, nefua kamponano nokalamo nowiseki Idhano Wa Mbonatodo ini, “Nosampugho hae ne Kamali ini o sara Idha?”
Nobhalomo Idhano,“Ingka La Beluba gara dumai-daiko. Aitu netaamo dakumakape La Beluba, kapa sokae tontoha, sokaetobhoha. Aitu kapeno dakumantale ne fato kampuna soniwora mie bhari”.
    Bhe noghae nobhisaramo wa Mbonatodo ini,”Panaembali dakumakape La beluba Idha, wasimbali dakumakape deki idi, rampano namangka nehamai La Beluba ane pae rabuane idi kangkaha”. Aitu nofenamo Idhano,”Nehamai kangkahano?”
“Neghiloi Idha, aekai-kaiane bheta maka abulu nembali kangkahano”. Bhalono Wa Mbonatodo ini. Aitu nofitingke kaawu anagha Idhano, suli nobhasida sara. Norato kaawu sara nobhisaramoOmputo Sangai ini,”Paemo nembali dakumakape La Beluba ini. Damosulidamo nelitau Wa Mbonatodo bhe La Beluba ini. Datumataodamo. Datumataodamo sara, datumataodamo kaomu”.
    Miinamo dakumakape La Beluba bhe Wa Mbonatodo ini, dofogadamo. Anando dooalu. Popa moghane, popa robhine. Dobage-bageemo sara anando ini, dobage-bageandae kaomu. Dorudua we Kadea-dea mbali dawuno kaomu Patandibone bhe Patandigala. Dorudua we Laipi mbali dawuno Kino Wou bhe Kino Madampi. Dorudua we Wakumoro mbali dawuno Komasigino bhe Ki Wakumoro. Dorudua doowaemo te Katumpu, so kafetumpuhano sara, kafetumpuhano kaomu. Daesalo daoma, damoroghu rampano padamo derunsa ne Katumpu sodhumampangida.
    Dhadihanomo dokonae liwu Katumpu, rampano mbali Katumpuhano sara, katumpuhano kaomu.

KONTU TIBHOKA

   Oleh: Wa Ode Irawati U.


      Indefie itu nando tutulano, seise rumah tangga itu bhe anano dorudua, oisa umuruno fitu taghu bhe morubuno/kampufu. Nando notiti we inano. Kadadihano de foghalu. Wakutuno ane notolala anoa (amano) no kala ne tomba o rusa welo katugha. Maka aitu nerako dua o kopunda we sawah, so daomae. Ane mina nopokawagho o rusa, ne rakomo o kapunda maka no foghonue we ganggano pae, mo kosono so darunsae we wakutuno do susah kafumaha.
      Tora aitu mina nae mpona nokalamo we katugha so nae rako o rusa. We lambuno nando robhine bhe kampufu nando norubu, padamo aitu anano nesalo naoma maka mina bhe kafumaha, anano maitu no ghae kansuru neghondohi so bhino ghotino. Inano kansuru no tudu anano no kala ne ala o kapunda we gangga motidapo, anahi itu kansuru nokala ne ala katuduno inano. Mina namotindae kadeki pada neala kapunda nagha, kansuru nokala sabutuhano nosihoro o kapunda, nowolo kosibhari-bhari hae.
      Mina nompona no sulimo amano. Amano nagha peda so mamarano, sababuno mina naeghawa o rusa mahingga seghulu. Pantasimo ane nomamara nowura dua kapunda nowolo nohoro sebhari-bhari hae. Amano nagha no kosetani lalono, kansuru nokala nododoe titino rubhineno, maka notowoe welo ifi so natimbaliane kafumahano. Kansuru rubhineno nagha ne kadiumu rea. Ampa nolea nagha no runsae lambuno mina nomandehaane lalono, robhineno nagha nokalamo we kontu tiboka nagha.
      Kontu tiboka dopandehane bhari-bhari hae o mie nopooli netolo mie, nembali nefumano kontu kotungguno ini. Maka kontu aini ane delagu-lagu ane kontu tiboka, kontu tilongko nomaimo wakutu indefie itu o lagu-laguno nagha nelagu-lagu ane kansuru nomboka do fotingke, nelagu robhineno mosusahno nagha robhineno nagha kansuru nokala we kontu tiboka, anano koruduahae noangkafi inano nagha nelagu-lagu notilengkamo kontu tiboka ne malu-malu mina nofokiri ianano nagha nelagu-lagu tilengkamo kontu tiboka ne malu-malu mina nefekiri inano saratono anano koroduahae nowura inano dotoloe kantu tiboka nagha doghaemo.
     Dotolo inano nagha, bhe nandomo ghuse, tondu pe so kiamamo dhunia ini, maka mina nompona notieremo. O ai bhe isa nagha nowura kaawu wulu fotuno inano, inano bhe ghulu-ghuluno titolomo. Noalaemo fitu tangke fotuno inano nagha so do timbaliane adhimando.

PENGGUNAAN GAYA BAHASA PERBANDINGAN DAN PERTENTANGAN DALAM KORAN KENDARI POS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
     Bahasa yang digunakan para penulis dan jurnalis bisa sama saja, tetapi gayanya pasti berlaianan. Setiap penulis atau jurnalis, niscaya memiliki gaya bahasa masing-masing. Gaya bahasa itulah yang membedakan dirinya dengan penulis atau jurnalis yang lain. Seorang penulis atau jurnalis dikenal oleh masyarakat luas, anatara lain dari gaya bahasa yang digunakandalam karya-karyanya.
    Gaya bahasa adalah  bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan  serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yangb lebih umum. Pendek kata penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu (Dale, 1971:220 dalam Tarigan, 1985:5).
    Seorang jurnalis pada dasarnya seorang penulis, tetapi seorang penulis belum tentu seorang jurnalis. Seorang jurnalis berkualitas, dituntut tidak saja menguasai teknik jurnalistik seperti aspek-aspek peliputan, tetpai juga disyaratkan menguasai teknik dan aspek-aspek penulisan. Secara umum gaya bahasa terdiri atas empat bagian besar: gaya bahasa perbajdingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan. Namun, dalam makalah ini hanya membahas tentang gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan.

1.2    Masalah
   Adapun yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan dalam koran Kendari Pos edisi Rabu, 2 November 2011?”

1.3    Tujuan
   Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan pada koran Kendari Pos edisi Rabu, 2 November 2011.

1.4 Manfaat
    Manfaat penulisan makalah ini adalah:
1.    Bagi penulis, sebagai bahan pembelajaran dan penambahan pengetahuan mengenai gaya bahasa perbandingan dan pertentangan.
2.    Bagi pembaca, sebagai bahan perbandingan penggunaan gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan terhadap koran-koran lain dan sebagai referensi untuk makalah selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Gaya Bahasa Perbandingan
    Gaya bahasa perbandingan mencoba membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda. Dengan gaya bahasa perbandingan, kita akan mengetahui unsur-unsur apa saja yang dianggap sama dan unsur-unsur apa saja yang dianggap berbeda atau bahkan bertentangan satu sama lain.

2.1.1     Perumpamaan
    Membandingkan dua hal yang berbeda sehingga dianggap memiliki unsur-unsur persamaan di antara keduanya, disebut gaya bahasa perumpamaan. Dalam bahasa latin, perumpamaan disebut simile yang bermakna seperti. Menyebut sesuatu dengan seperti, berarti sifat-sifat atau ciri pokok yang melekat pada sesuatu yang akan dibandingkan, seolah disamarkan sehingga menjadi tidak tampak. Sebaliknya, sifat-sifat atau ciri pokok yang melekat pada objek perbandingan, seolah ditonjolkan sehingga tampak lebih mencolok.
    Para penulis hanya dapat menggunakan gaya bahasa perumpamaan ketika menulis tajuk rencana, artikel, kolom berbagai jenis cerita khas berwarrna (feature), catatan perjalanan, atau pelaporan mendalam (depthreporting). Gaya bahasa perumpamaan tidak boleh digunakan pada laporan jenis berita langsung (straight news) karena, menurut kaidah jurnalistik$ gaya bahasa ini termasuk subjektif. Etika dasar jurnalistik mengajarkan, seorang jurnalis tidak boleh bersikap subjektif dalam berita yang ditulisnya. Ia harus obyektif. Sikap objektif tidak hanya pada materi isinya. Tetapi, juga harus terlihat jelas pada susunan katanya.

2.1.2     Metafora
    Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan (Poerwadarminta, 1976:648). Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan. Gagasan yang pertama adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang menjadi objek. Gagasan yang kedua merupakan pembanding terhadap kenyataan pertama tersebut (Tarigan, 1983:141; 1985:183).
    Pada metafora, kata-kata penyaebut yang secara eksplisit menunjukkan adanya perbandingan yakni bagai, bak, ibarat, seperti, laksana, senagaja tidak dimunculkan. Seorang penulis atau jurnalis, dianjurkan untuk sesekali menggunakan metafora secara fungsional dan variatif dalam karya-karyanya seperti pada artikel, pojok, karikatur, dan cerita khas berwarna (feature).

2.1.3     Personifikasi
    Secara etimologis, personifikasi berasal dari bahsa latin, persona, yang berarti orang, pemain, pelaku, aktor, subjek, atau topenf dalam permainan drama dan sandiwara. Menurut Edgar Dale, dengan gaya bahasa personifikasi, kita memberikan ciri-ciri atau kualitas pribadi seseorang kepada gagasan atau benda-benda tidak bernyawa sehingga benda-benda tidak bernyawa itu seolah-olah menjadi hidup atau bernyawa seperti layaknya manusia (Dale, 1971:221).
Dalam reaksi yang berbeda, personifikasi adalah gaya bahasa perbandingan yang mengandaikan benda-benda mati, termasuk gagasan atau konsep-konsep abstrak, berperilaku seperti manusia yang bisa menggerakkan seluruh tubuhnya, berkata-kata, bernyanyi, bersiul, berlari, menari, melihat dan mencium. Personifikasi lebih tepat digunakan untuk karya-karya jurnalistik yang sifatnya soft news. Seorang jurnalis surat kabar harian menggunakan personifikasi secara terbatas, kecuali pada karya artikel, kolom, pojok, karikatur, kartun, laporan perjalanan, dan cerita khas berwarna (feature), dan sesekali pada teks foto. Sedangkan seorang jurnalis majalah mingguan berita, dapat setiap saat memakai personifikasi. Menurut teori jurnalistik, majalah mingguan berita merujuk kepada jurnalistik sastra. 


2.1.4     Depersonifikasi
    Gaya bahasa depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi. Depersonifikasi mengandaikan manusia atau segala hal yang hidup, bernyawa, sebagai benda-benda mati yang kaku beku. Gaya bahasa jenis ini, dalam bahasa jurnalistik digunakan terutama untuk menujukkan situasi, posisi, atau kondisi seseorang, sekelompok orang, atau sesuatu hal yang sifatnya pasif.
Seorang jurnalis, dianjurkan sering menggunakan depersonifikasi untuk melaporkan realitas kehidupan yang sarat denagn unsur ironi, paradoks, tragedi, dan bencana yang kerap datang silih berganti. Melalui depersonifikasi, seorang jurnalis dapat melukiskan kisah-kisah ironis dan tragis secara lebih tajam. Efek psikologis yang ditimbulkan pada khalayak, niscaya sangat dalam.

2.1.5     Alegori
    Alegori berasal dari bahasa Yunani, allegorein, yang berarti bicara secara kias atau bicara dengan menggunakan kias. Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan-gagasan yang dipertimbangkan. Alegori biasanya mengandung sifat-sifat moral atau spiritual manusia. Alegori dapat berbentuk puisis atau prosa. Fabel adalah sejenis alegori, yang di dalamnya binatang-binatang berbicara dan bertingkah laku seperti manusia (Tarigan, 1985: 24).
    Alegori sering kita temukan dalam bahasa jurnalistik majalah remaja dan majalah anak-anak. Tujuanya lebih banyak bersifat persuasif dan edukatif daripada argumentatif dan korektif.

2.1.6     Antitesis
    Antitesis berarti lawan yang tepat atau pertentangan yang sebenarnya (Poerwadarminta, 1976:52). Antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan (Ducrot dan Todorov, 1981:277 dalam Tarigan, 1985:27).4br />Antitesis termasuk salah satu gaya bahasa andalan dalam dunia jurnalistik sastra. Antitesis membuat laporan jurnalistik yang sifatnya faktual, menjadi seolah-olah karya fiksi yang sifatnya imajisional. Artinya cukup sarat dengan lukisan suasana serta pengembangan karakter khas dari para pelaku yang terlibat dalam cerita itu. Dalam jurnalistik sastra, suasana dan karakter, tidak selamanya dikatakan, tetapi justru lebih banyak dikisahkan, menyatu dalam cerita.

2.1.7     Pleonasme dan Tautologi
     Pleonasme adalah pemakaian kata mubazir atau berlebihan yang sebenarnya tidak perlu (Poerwadarminta, 1976:761). Suatu acuan disebut pleonasme apabila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh (Keraf, 1985:133). Pleonasme bisa disebut juga penegasan terhadap suatu kata atau konsep yang sudah tegas dan jelas.
Sedangkan tautologi adalah penegasan terhadap suatu hal yang mengandung unsur perulangan tetapi dengan menggunakan kata-kata yang lain. Bahasa jurnalistik tidak menyukai pleonasme dan tautologi karena keduanya bertentangan dengan prinsip keringkasan dan kelugasan.

2.1.8     Perifrasis
    Perifrasis adalah sejenis gaya bahasa yang agak mirip denagn pleonasme. Kedua-duanya mempergunakan kaa-kata lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Walaupun begitu terdapat perbedaan yang penting di antar keduanya.pada gaya perifrasis, kata-kata yang berlebihan itupada prinsipnya dapat diganti denagn sebuah kata saja (Keraf, 2004:134). Bahasa jurnalistik menekankan, perifrasis tidak cocok digunakan untuk berbagai karya yang ditulis oleh para jurnalis karena sarat dengan unsur pemborosan kata. Kalaupun terpaksa hanya dipakai sesekali saja.

2.1.9     Antisipasi (prolepsis)
     Kata antisipasi berasal dari bahasa latin, anticipatio, yang berarti mendahului atau penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi (Shadily, 1980:234). Gaya bahasa antisipasi atau prolepsis sebenarnya lebih banyak ditemukan dalam bahasa tutur atau bahasa percakapan. Tetapi pengaruh bahasa percakapan itu tidak jarang merembes pula ke dalam ragam bahasa tulis.
    Seorang jurnalistik semestinya mewaspadai gejala bahasa tutur dalam karya-karya yang ditulis, disiarkan, atau ditayangkannya dalam media massa. Pemakaian antisipasi atau prolepsis banyka ditemukan jurnalistik olahraga. Sepakbola misalnya, tidak sekedar menampilkan berita pertandingan, tetpai juga mengungkap banyak aspek lain yang menyertainya. Berita sebelum selama, setelah pertandingan, sangat digemari khalayak, serta senantiasa dinanti. Antisipasi atau prolepsis juga tidak jarang kita temukan dalam jurnalistik kriminal (crime journalism). Para jurnalis peliput berita-berita hukum dan kriminalitas, sama seperti jurnalis peliput berita-berita olahraga, cukup menyukai antisipasi atau prolepsis.

2.1.10    Koreksio (Epanortosis)
    Dalam berbicara atau menulis, adakalanya kita ingin menegaskan sesuatu, tetapi kemudian kita memperbaikinya atau mengoreksinya kembali. Gaya bahasa seperti ini biasa disebut koreksio atau epanortosis.
    Untuk berbagai jenis tulisan bernada informal, tidak serius, ringan, bermaksud menghibur, bahasa jurnalistik tidak melarang penggunaan koreksio. Gaya bahasa ini sesekali bahkan dianjurkan dipakai sebagaibentuk variasi kalimat sekaligus untuk menghindari kejenuhan.

2.2    Gaya Bahasa Pertentangan
    Gaya bahasa pertentangan membandingakn dua hal yang berlawanan atau bertolak belakang. Gaya bahasa jenis ini cukup banyak ditemukan dalam berbagai karya jurnalistik.



2.2.1    Hiperbola
    Hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung unsur pernyataan yang melebih-lebihkan jumlahnya, ukuranya, atau sifatnya, dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frasa, atau kalimat (Tarifan, 1985:55).
   Seorang penulis atau jurnalis, disarankan untuk lebih berhati-hati menggunakan hiperbola. Jika tidak, bukan informasi akurat yang disampaikan kepada khalayak, melainkan justru penjelasa yang serba samar dan bahkan cenderung menyesatkan. Seorang jurnalis tetap harus bersikap objektif, akurat, dan berimbang.

2.2.2    Litotes
     Litotes adalah majas yang dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan. Litotes mengurangi atau melemahkan kekuatan pernyataan yang sebenarnya (Moeliono, 1984:3). Litotes menurut guru besar linguistik, adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikecil-kecilkan, dikurangi dari kenyataan yang sebenarnya, misalnya untuk merendahkan diri (Tarigan, 1985:58). Dalam redaksi yang berbeda, seperti diegaskan Dale, litotes yang berasal dari Yunani, litos yang berarti sederhana, adalah kebalikan dari hiperbola. Litotes adalah gaya bahasa yang membuat pernyataan mengenai sesuatu dengan cara menyangkal atau mengingkari kebalikannya (Dale, 1971:237).
    Terhadap ungkapan-ungkapan bernada litotes, para jurnalis sudah tentu harus jeli, jangan sampai terjebak dan mengutipnya mentah-mentah. Seorang jurnalis harus kaya informasi dan bersikap kritis. Ia harus melakukan konfirmasi ke berbagai sumber, agar khalayak memperoleh informasi yang sebenarnya. Denagn sikap kritis, ia tidak akan sampai, seolah-olah, terhipnotis oleh ungkapan atau pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh narasumber. Dilihat dari sisi logika, karyanya harus tetap mencerminkan visi akademis.

2.2.3    Ironi
    Ironi adalah majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok. Maksud ini dapat dicapai dengan mengemukakan tiga hal: (a) makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya, (b) ketaksesuaian antara suasana yang diketengahkan dan kenyataan yang mendasarinya, (c) ketaksesuaian antara harapan dan kenyataan (Moeliono, 1984:3). Ironi adalah sejenis gaya bahasa yang mengimplikasikan sesuatu yang nyata berbeda, bahkan adakalnya bertentangan dengan sebenrnya yang dikatakan itu. Ironi ringan merupakan suatu bentuk humor, tetapi ironi berta atau ironi keras biasanya merupakan suatu bentuk sarkasme atau satire (Tarigan, 1985:61).
    Dalam perspektif bahasa jurnalistik, ironi umumnya digunakan sebagai salah satu bentuk pemenuhan fungsi koreksi (social control) media massa sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang. 

2.2.4    Oksimoron
    Kata oksimoron berasal dari bahasa latin, okys dan moros yang berarti gila (Tarigan, 1985:63). Oksimoron adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung penegakan atau pendirian suatu hubungan sintaksis baik koordinasi maupun determinasi, antara dua antonim (Ducrot dan Todorov, 1981:278). Oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung unsur pertentnag dengan mempergunakan kta-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama (Keraf, 1985:136; 2004:136).
     Dalam perspektif jurnalistik, oksimoron bisa digunakan untuk mengingatkan tentang berbagai pilihan yang dapat ditempuh masyarakat. Pada akhirnya, pilihan apapun yang diambil masyarakat, pasti ada konsekuensi dan resikonya. Secara filosofis, oksimoron mengajarkan masyarakat untuk mengembangkan sikap tanggung jawab dan kemandirian.

2.2.5    Satire
     Uraian yang harus ditafsirkan lain dari makna permukaanya disebut satire. Kata satire diturunkan dari kata satura yang berarti talam yang penuh berisi bermacam-macam buah-buahan. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis dan estetis (Keraf, 1985:144; 2004:144).

2.2.6    Inuendo
     Inuendo adalah sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Gaya bahasaini menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau ditinjau sambil lalu saja (Keraf, 1985:144; 2004:144).
Secar ideologis dan sosiologis, media massa di Indonesia sangat menyukai inuendo. Denagn inuendo, orang atau pihak-pihak yang terkena sasaran kritik tidak akan tersinggung atau merasa dipermalukan di depan umum.mereka menerima kritik media massa dengan lapang dada karena kritik yang dilontarkan dianggap rasional dan proposional. Inuendo, memang salah satu jenis gaya bahasa yang lebih menonjolkan aspek rasional. Para jurnalis sejak dini diajarkan untuk menggunakan inuendo.

2.2.7    Antifrasis
    Antifrasis adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Bila diketahui bahwa yang hadir adalah seorang yang kurus, lalu dikatakan si gendut telah hadir maka jelas gaya bahasa tersebut adalah antifrasis (Tarigan, 1985:75).
Antifrasis termasuk jenis gaya bahasa pertentangan murni karena membicarakan suatu keadaan yang berlaku sebaliknya dari apa yang dikatakan. Pada dunia atau kelompok-kelompok masyarakat yang sarat dengan konflik, antifrasis tumbuh subur. Setiap orang bahkan cenderung untuk memnuculkan antifrasis versinya sendiri. Bahasa jurnalistik sebaiknya tidak terjebak dalam iklim dan kecenderungan demikian. Seorang jurnalis dibekali perangakat moral dan rujukan profesional untuk tetap bersikap objektif, berimbang, dan netral.

2.2.8    Paradoks
    Paradoks adalah suatu pernyataan yang bagaimanapun diartikan selalu berakhir dengan pertentangan (Shadily, 1984:2552). Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya (Keraf, 1985:136; 2004:136). Paradoks termasuk salah satu jenis gaya bahasa yang paling disukai para penulis dan jurnalis.
Dengan paradoks, penulis atau jurnalis dapat menunjukkan dengan tegas, betpa tokoh, subjek cerita, atau narasumber yang dikisahkan, benar-benar sedang menghadapi keadaan atau tekanan tertentu, baik secara psikologis maupun sosiologis.

2.2.9    Klimaks
    Kata klimaks berasal dari bahasa Yunani, klimax yang berarti tangga. Klimaks adalah sejenis gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makin lama mengandung penekanan. Kebalikannya adalah antiklimaks (Shadily, 1984:1975). Klimaks menunjukkan suatu urutan peristiwa atau penyampaian gagasan secara kronologis. Klimaks berbicara dari yang terbawah sampai yang tertinggi atau titik puncak. Klimaks kerap ditemukan pada karya cerita khas berwarna (feature) yang mengandung unsur kejutan, misteri, atau petualangan.

2.2.10    Antiklimaks
    Antiklimaks adalah kebalikan dari gaya bahasa klimaks. Sebagai gaya bahasa, antiklimaks merupakan suatu acuan yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Gaya bahasa antiklimaks dapat digunakan sebagai suatu istilah umum yang masih mengenal spesifikasi lebih lanjut, yaitu dekrementum, katabasis, dan batos.
    Dekrementum adalah semacam antiklimaks yang berwujud menambah ggasan yang kurang penting pada suatu gagasan yang penting. Katabasis adalah sejenis gaya bahasa antiklimaks yang mengurutkan sejumlah gagasan yang semakin kurang penting. Batos adalah sejenis gaya bahasa antiklimaks yang mengandung penukikan tiba-tiba dari suatu gagasan yang sangat penting ke suatu gagasan yang sama sekali tidak penting (Tarigan, 1985:81-82).
    Media massa kita kerap dituding sebagai asosial. Artinya lebih banyak menyuarakan posisi dan prestasi kaum pejabat daripada memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam bahasa akademis, media massa kita lebih banyak berorientasi vertikal daripada horizontal dan diagonal. Dalam beberapa hal, media massa kita dikritik pula terlalu memihak pemilik modal daripada bersikap netral.
    Antiklimaks berupaya melawan kecenderungan negatif demikian. Antiklimaks melihat realitas sosial dengan jernih. Tak selamanya sukses (positif ) yang diangkat media massa. Pada saat yang sama, berbagai ekses (negatif) ditampilkan secara adil, objektif, dan berimbang. Selain itu, salah satu ciri utama bahasa jurnalistik adalah demokratis. Konsekuensinya, kata-kata elitis tidak boleh digunakan dalam bahasa jurnalistik. Kata-kata elitis, antara lain, kata-kata yang kerap digunakan para pejabat tinggi negeri, sarat dengan istilah teknis, banyak diselipi kata asing, dan cenderung tidak tunduk terhadap kaidah tata bahasa indonesia.

2.2.11    Sinisme
     Sinisme adalah sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sinisme adalah ironi yang lebih kasar sifatnya. Namun kadang-kadang sukar ditarik batas yang tegas antara keduanya (Tarigan, 1985:91). Sinisme adalah salah satu gaya bahasa yang paling banyak pemakainya di berbagai instansi pemerintah dan swasta, dari pejabat tertinggi sampai staf terbawah, selalu saja mendapat hembusan angin sinisme karena berbagai sebab dan latar belakang.
     Sinisme sejak lama seolah menjadi budaya. Sinisme, pada sisi lain, mencerminkan masih maraknya ketimpangan sosial-ekonomi, ketidakadilan, dan sikap-sikap diskriminatif lainya di negara kita. Prinsip jurnalistik tidaklah dibangun di atas pijakan sinisme, tetapi justru di atas landasan realisme. Betapapun demikian, bahasa jurnalistik kaya kata dan nuansa.  Selain itu, nbahasa jurnalistik tidak lepas dari fungsi koreksi (social control, to influence) yang melekat dalam dirinya. Secara fungsional dan kontekstual, penulis atau jurnalis perlu menggunakan sinisme ketika menyajikan karya-karya jurnalistik yang bersifat korektif. Sinisme terutama dapat dituangkan dalam tajuk rencana, pojok, karikatur, artikel, kolom, surat pembaca, dan jenis kartun.

2.1.12 Sarkasme
      Bila dibandingkan dengan ironi dan sinisme, sarkasme lebih kasar. Sarkasme adalah jenis gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti hati (poerwadarminta,1976: 874). Kata sarkasme berasal dari bahasa Yunani sarkasmos yang diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti meronek-robek daging seperti anjing, menggigit karena marah, atau bicara dengan kepahitan (Keraf, 1985:144; 2004:144). Ciri utama gaya bahasa sarkasme adalah selalu mengandung kepahitan dan celaan yang getir, menyakiti hati, dan kurang enak didengar (Tarigan, 1985:92).
     Dalam perspektif jurnalisme, sarkasme berkembang dalam suatu masyarakat sebagai cerminan masyarakat itu sedang sakut. Sarkasme menunjukkan kaudah normatif pada budaya peradaban tinggi, dianggap tidak lagi efektif dalam menjawab persoalan sosial-ekonomi dan pollitik suatu bangsa. Orang tidak lagi memilih pola pikir logis-etis tetapi lebih suka mengembangkan cara-cara sikap dan perilaku sadis-anarkis.
     Bahasa jurnalistik tunduk kepada kaidahetis. Jadi, bahasa jurnalistik terlarang menggunakan kata-kata kasar, menyakiti hati, tidak enak didengar, vulgar, surat sumpah-serapah, dan lebih jauh lagi mencerminkan pola perilaku orang, atau kelompok masyarakat yang tidak beradab. Redaktur atau editir media massa, harus mewaspadai kemungkinan lolosnya sarkasme dalam karya-karya yang ditulis para penulis atau jurnalis. Redaktur harus menyadarai, sarkasme pada bahasa jurnalistik bisa muncul dari banyak pintu. Bisa melalui kalimat kutipan atau ucapan langsung, bisa pula melalui kalimat berita atau pelaporan yang ditulis para jurnalis.

2.3    Analisis Penggunaan Gaya Bahasa Perbandingan Pada Koran Kendari Pos Edisi Rabu, 2 November 2011
2.3.1    Perumpamaan
Gaya bahasa perumpamaan adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berbeda sehingga dianggap memiliki unsur persamaan diantara keduanya. Gaya bahasa ini terdapat dalam koran Kendari Pos edisi Rabu, 2 November 2011 yaitu :
Buku ini diibaratkan gerimis yang turun sekali-sekali di tengah tanah yang gersang.
Malah pesangon pensiun itu ibarat warisan bagi keluarga.

2.3.2    Personifikasi
    Gaya bahasa personifikasi adalah gaya bahasa perbandingan yang mengandaikan benda-benda mati,  termasuk gagasan atau konsep-konsep yang abstrak, berperilaku seperti manusia yang bisa menggerakkan seluruh tubhnya. Gaya bahasa ini terdapat dalam koran Kendari Pos edisi Rabu, 2 November yaitu:
Penulis memaknai bahasa tubuh Rektor Unversitas Haluoleo Prof. Usman Rianse yang begitu bersemangat bernyanyi dan memanggil dosen-dosen lain untuk mendampinginya.
Tidak tersimpan rapat di lemari arsip (jika ada) dibalik kukuhnya tembok-tembok gedung universitas.
......., begitu banyaknya intelektual dan cendekiawan yang tercipta dari bangku-bangku perguruan tinggi, namun tidak ada yang bisa dilihat dari kecendekiawanannya.

2.4    Analisis Pengunaan Gaya Bahasa Pertentangan Pada Koran Kendari Pos Edisi Rabu, 2 November 2011
2.4.1 Oksimoron
    Gaya bahasa oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung penegakan atau pendirian suatu hubungan sintaksis baik koordinasi maupun determinasi antara dua antonim. Gaya bahasa ini terdapat dalam koran kendari Pos edisi Rabu, 2 November 2011 yaitu :
Suharso siap rujuk, cerai juga siap.
BAB III
 PENUTUP


3.1 Simpulan
      Penggunaan gaya bahasa bagi seorang penulis atau jurnalistik sangat banyak ditemukan. Karena gaya bahasa dapat menjadi ciri khas bagi penulis atau jurnalis tersebut. Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat dilihat penggunaan gaya bahasa pada koran Kendari Pos edisi Rabu, 2 November 2011, lebih banyak menggunakan gaya bahasa perbandingan daripada gaya bahasa pertentangan.

3.2 Saran
     Analisis penggunaan gaya bahasa pada koran Kendari Pos edisi Rabu, 2 November 2011 hanya terbatas pada penggunaan gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan saja. Analisis lanjutan tentang penggunaan gaya bahasa secara umum yaitu gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, gaya bahasa perulangan masih dapat dilakukan.



SEPASANG MERPATI TUA (KAJIAN)

Oleh: Wa Ode Irawati U.

BAB III
 HASIL DAN PEMBAHASAN


 3.1 Unsur Intrinsik
3.1.1 Tema
    Tema dalam drama Sepasang Merpati Tua adalah kehidupan. Karena dalam perbincangan antara nenek dan kakek membahas tentang kehidupan yang dimulai dari kehidupan mereka berdua, lalu merambah ke kehidupan sosial dan akhirnya kembali ke diri mereka berdua. Yaitu tentang perenungan diri masing-masing tentang kehidupan. Kemudian dalam drama ini, tokoh kakek selalu memberikan gambaran dan pemahaman tentang hidup. Jadi,  perbincangan kedua tokoh ini adalah seputar kehidupan.

3.1.2 Tokoh dan penokohan
    Dalam menganalisis pencitraan sebuah tokoh dapat dilakukan dengan identifikasi tokoh, hubungan antartokoh, dan deskripsi karakter tokoh.

a.     Identifikasi Tokoh
    Adapun tokoh-tokoh yang ada dalam drama Sepasang Merpati Tua karya Bakti Soemanto ini adalah
1.    Nenek
2.    Kakek

b.     Hubungan Antartokoh
     Suatu tokoh dapat dikatakan sebagai tokoh utama jika kapasitas interaksi tokoh tersebut terhadap tokoh lain lebih dominan daripada tokoh-tokoh yang lain. Jika tokoh dalam novel tersebut memiliki kemiripan atau bahkan hamper sama maka dapat dilihat dari tokoh yang mampu yang mampu menggerakkan alur cerita.
    Adapun gambaran hubungan antartokoh dalam drama Sepasang Merpati Tua  ini adalah sebagai berikut :
1.    Nenek 
2.    Kakek
    Dari uraian hubungan antartokoh di atas, kedua tokoh imbang. Namun, yang dilihat selanjutnya adalah tokoh yang menggerakkan alur cerita. Yang menggerakkan alur cerita adalah kakek. Jai dapat disimpulkan bahwa tokoh utama dalam drama ini adalah Kakek. Sedangkan nenek adalah tokoh bawahan, yaitu tokoh yang mendapingi tokoh utama.
c.       Deskripsi Karakter Tokoh (Penokohan)
1) Nenek
        Nenek adalah seorang  yang sedikit mementingkan kedudukan dan kehormatan dalam hidup. Tetapi, sesungguhnya Nenek belum mengerti arti hidup dibandingkan dengan Kakek.
Hal ini dapat dilihat pada kutipan dialog berikut :

Kakek :    Aku ingin jadi diplomat yang diberi pos di kolong jembatan saja…
Nenek :    Ah, gila. Itu pekerjaan gila.

Kakek :    Selama kedudukan adalah diplomat, di mana saja ditempatkan sama saja terhinanya, sama saja mulianya.
Nenek :    Aku tidak rela kau ditempatkan di tempat terhina itu

Nenek :    Ah… bagaimana nanti kalau aku arisan dan ditanya teman-teman, bagaimana jawabku, pak. Coba bayangkan,bayangkan …
2.    Kakek
Kakek adalah seorang yang peduli terhadap kehidupan sosial dan memberikan banyak pengertian hidup terhadap istrinya.
Hal ini dapat dilihat pada kutipan dialog berikut :

Kakek :    Banyak diplomat yang dikirim di pos-pos manapun di dunia ini. Tapi pemerintah belum punya wakil utuk bicara-bicara dengan mereka yang ada dikolong jembatan, bukan? Ini tidak adil. Maka, aku akan menyatakan diri. Maka aku akan menyediakan diri untuk mewakili pemerintahan ini sebagai diplomat kolong jembatan.   

Kakek :    Aku mau jadi teknorat dalam bidang….

Kakek :     Bidang persampahan
Nenek :    Apa?
Kakek :    Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah sebab adanya banjir di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat di jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar biasa banyaknya.

Kakek :    Manusia harus menghayati hidupnya, bukan menghayati disiplin mati itu…doktrin-doktrin itu harus…harus…
Nenek :    Suamiku, sudahlah nanti penyakit nafasmu kumat lagi. Kalau kau terlalu semangat begitu …
Kakek :    Kretifitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep tetapi dengan merangsangnya…dengan menggoncangkan jiwanya agar tumbuh keberaniannya menjadi diri sendiri. Tidak menjadi manusia bebek. Yang Cuma meniru, meniru, meniru… (kakek rebah, nenek menjerit)

Nenek :    Aku takut
Kakek :    Aku juga….(terdengar lonceng jam dinding dua belas kali)
Nenek :    Dua belas kali…
Nenek :    Aneh! Ini tidak mungkin. Apa aku salah mendengar?
Kakek :    Memang begitu. Kau tidak salah dengar.
Nenek :    Tapi ini di luar kebiasaan. Tadi sudah berbunyi dua belas kali, mestinya bunyi satu kali….begitu kan?
Kakek :    Mudah-mudahan kau tahu, begitulah hidup. Kebiasaan-kebiasaan, konsep-konsep tidak terlalu cocok.

3.1.3 Alur
    Alur dalam drama Sepasang Merpati tua dapat diuraikan dalam beberapa sekuen. Adapun sekuen-sekuen tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Nenek duduk sambil menyulam dan berbicara sendiri tentang Kakek yang sedang bersolek.
2.    Kakek menanyakan penampilannya kepada Nenek.
3.    Nenek mempersoalkan kakek yang membaca Koran menyendiri
4.    Kakek pun mempersoalkan Nenek yang duduk mendekat dna bersndar dibahu kirinya.
5.    Nenek merasa diperolok-olok oleh Kakek
6.    Kakek membantah kalau memperolok-olok nenek dan menyatakan bahwa nenek pantas disejajarkan dengan ibu Kartini.
7.    Kakek dan Nenek mempersoalkan tentang sbutan ibu Tin dan ibu Kartini
8.    Kakek membicarakan tentang cita-cita professornya dulu
9.    Nenek mempersoalkan gelar professor yang dibicarakan kakek
10.    Nenek mengusulkan agar tidak usah jadi professor. Tapi jadi diplomat ulung
11.    Kakek kurang senang dengan diplomat dan menyampaikan pembelaan bahwa diplomat banyak menipu hati nuraninya sendiri.
12.    Karena nenek termenung, maka kakek memutuskan untuk jadi diplomat demi menyelamatkan perkawinan mereka.
13.    Nenek menawarkan untuk jadi diplomat PBB, diplomat surgawi atau diplomat wakil republik kita.
14.    Kakek menolak tawaran nenek dan megatakan untuk jadi diplomat kolong jembatan
15.    Nenek tidak setuju karena kolong jembatab dianggap tempat terhina dan akan berdampak pada kakek
16.    Kakek memberikan pendapat tentang kolong jembatan
17.    Nenek tetap tidak stuju dengan pertimbangan bagaimana nanti kalau ditanya saat arisan.
18.    Kakek memberikan pengertian tentang kedudukan diplomat kolong jembatan dan jawaban jika ditanya oleh teman-teman Nenek saat arisan.’
19.    Akhirnya Nenek menyatakan ketidakinginannya kalau Kakek menjadi diplomat.
20.    Kakek mengangkat bicara soal hidup
21.    Nenek bertanya seadanya dan memandang tindakan-tindakan Kakek.
22.    Kakek membuka toples dan memakan makanannya.
23.    Nenek mengkritik cara makan Kakek bahwa seorang diplomat tidak bolehmakan sambil berdiri.
24.    Kakek menyatakan bahwa sudah beralih pekerjaan, bukan lagi diplomat tapi teknorat dalam bidang persampahan yang membuat Nenek kaget.
25.    Kakek memberiakan pengertian tentang pilihannya di bidang persampahan terhadap Nenek.
26.    Nenek tidak mengerti dengan maksud Kakek, sehingga ia terus bertanya.
27.    Kakek mulai membicarakan tentang hidup bahwa hidup kita sudah diwarnai dengan cara berpikir yang sadis.
28.    Nenek mengehentikan suaminya untuk bicara karena takut penyakit nafasnya kumat.
29.    Kakek merebahkan dirinya yang membuat Nenek menjerit lalu tersedu.
30.    Kakek bangkit dan bertanya mengepa Nenek menangisinya
31.    Nenek kaget dan bertanya untuk meyakinkan dirinya bahwa Kakek masih hidup.
32.    Kakek menyatakan bahwa bernapas dan bicara bukan ukuran hidup. Ini membuat Nenek tidak mengerti.
33.    Kakek menyarankan agar Nenek merenubgi diri
34.    Pembicaraan Kakek dan Nenek berlanjut ke arah kematian yang membuat keduanya takut.
35.    Nenek mendengar keanehan dari jam dinding yang berbunyi dua belas kali, mestinya ditambah satu kali lagi.
36.    Kakek memperkuat bahwa semoga Nenek mengerti. Begitulah hidup. Kebiasaan-kebiasaan, ukuran-ukuran, konsep-konsep tidak terlalu cocok.

3.1.4 Latar
    Dalam menganalisis latar ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu identifikasi tempat dan identifikasi waktu.

a. Identifikasi Tempat
    Dalam drama yang berjudul Sepasang Merpati Tua karya Bakti Soemanto ini hanya terjadi di satu tempat, yaitu di ruangan tengah rumah. Hal ini terlihat pada narasi awal drama :
“Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua…”

b. Identifikasi Waktu
    Cerita dalam novel ini terjadi pada sore hari (menjelang malam) sampai tengah malam. Latar sore hari (menjelang malam) dapat dilihat pada kutipan narasi awal drama yaitu
“…sebentar-sebentar ia menengok ke belakang, kalau-kalau suaminya dating. Saat itu hari menjelang malam.” Sedangkan latar tengah malam dapat dilihat pada kutipan dialog berikut :

Nenek :    Sudah larut tengah malam
Kakek :    Ya. Dan sebentar lagi ambang pagi akan datang
3.1.5  Sudut Pandang
     Dalam drama Sepasang Merpati Tua, pengarang menempatkan dirinya sebagai tokoh sampingan atau menggunakan sudut pandang orang ketiga tunggal karena pengarang menceritakan orang lain atau yang menjadi tokoh adalah orang lain. Bukan “aku” atau “saya”. Hal ini dapat dilihat bahwa tokoh yang dilibatkan pengarang adalah Kakek dan Nenek.
3.1.6 Amanat
     Setiap karya sastra yang diciptakan tak luput dari amanat atau hal-hal yang dianggap penting oleh pengarang untuk diketahui penikmat sastra. Seperti halnya drama yang berjudul Sepasang Merpati Tua.
     Adapun amanat yang dapat diambil dalam drama Sepasang Merpati Tua ini adalah
1.    Kita harus belajar menghayati, mengerti dan memaknai hidup, karena dalam kehidupan kita pasti mempunyai beban tersendiri. Ini tersurat dalam dialog berikut :
Kakek :    (memandang Nenek) susah…
Nenek :    Siapa?
Kakek :    Kita semua
Nenek :    Termasuk para penonton itu?
Kakek :    Ya.
Nenek :    Kenapa?
Kakek :    Karena kita hidup
Nenek :    Mengapa begitu?
Kakek :    Orang hidup punya beban sendiri…..

Nenek :    Suamiku…suamiku…suamiku…sudahlah…
Kakek :    Manusia harus mengahyati hidupnya, bukan mengahyati disiplin mati itu…doktrin-doktrin itu harus…harus…
2.    Dalam kehidupan kita tak usah menonjolkan kedudukan untuk semata-mata mau dihormati. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut :
Nenek :    Itu lebih terhormat di PBB. Siapa tahu kau akan terpilih jadi ketua sidang, lantas kelak jadi sekretaris jenderal….
Nenek :    Kurang besar kedudukan itu. Atau diplomat surgawi saj? (kakek memandang nenek)
….
Nenek :     Nah, paling terhormat jadilah diplomat wakil republic kita tercinta di PBB….
Kakek :    Aku ingin jadi diplomat yang diberi pos di kolong jembatan saja…
Nenek :    Ah, gila. Itu pekerjaan gila.

3.    Kita harus memikirkan kepentingan orang lain sebagai tanggung jawab sesama anggota masyarakat . perhatikan dialog berikut :
Kakek :    Aku ingin jadi diplomat yang diberi pos di kolong jembatan saja…
Nenek :    Ah gila… itu pekerjaan gila
Kakek :    Banyak diplomat yang dikirim ke pos-pos manapun di dunia ini. Tapi, pemerintah belum punya wakil untuk bicara-bicara dengan mereka yang ada di kolong jembatan, buka? Ini tidak adil. Maka aku menyatakan diri. Maka aku menyedikan diri untuk mewakili pemerintahan ini sebagai diplomat kolong jembatan.
Nenek:    Tapi kau akan terhina
Kakek :    Selama kedudukan adalah diplomat, di manapun ditempatkan sama saja terhinanya, sama saja mulianya.

Kakek :    Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong. Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolong jembatan itu perlu dibujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri sendiri. Tidak sekedar dihalau, diusir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil yang bisa membujuk…

4.    mau memperhatikan keadaan sekitar tempat tinggal kita yang dipenuhi dengan sampah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ;
kakek :    Aku mau jadi teknorat dalam bidang…
nenek :    Ekonomi?
Kakek:     Bukan!
…..
Kakek :    Bidang persampahan
Nenek :    Apa?
Kakek :    Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat di jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahhnya luar biasa banyaknya…




3.2    Unsur Ekstrinsik
3.2.1 Nilai Agama/Religius
     Dari sudut pandang agama drama Sepasang Merpati Putih, memiliki nilai bahwa dalam kehidupan, kita tidak boleh hanya mementingkan kepentingan diri sendiri. Tetapi, kita juga  dituntut untuk memperhatikan keadaan sekeliling kita sebagai amal di mata Tuhan. Seperti yang dikehendaki oleh Kakek untuk menjadi diplomat kolong jembatan dan teknokrat bidang persampahan.

3.2.2    Nilai Sosial-Budaya
     Dari sudut pandang sosial-budaya, drama Sepasang Merpati Tua menggambarkan kritik sosial kepada pihak pemerintah yang tidak memparhatikan masyarakat atau orang-orang yang tinggal di kolong jembatan. Selanjutnya, kritik kepada masyarakat kota yang tidak memperhatikan kebersihan terutama sampah. Membuang  sampah sembarangan sudah membudaya di kalangan masyarakat kota. Sehingga melalui drama ini juga menampakkan kritik sosial. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
 Kakek :    Banyak diplomat yang dikirim ke pos-pos manapun di dunia ini. Tapi, pemerintah belum punya wakil untuk bicara-bicara dengan mereka yang ada di kolong jembatan, bukan? Ini tidak adil. Maka aku menyatakan diri. Maka aku menyediakan diri untuk mewakili pemerintahan ini sebagai diplomat kolong jembatan.
….
Kakek :    Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat di jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahhnya luar biasa banyaknya…


3.3.3    Nilai Moral
     Nilai moral yang diperoleh dalam drama Sepasang Merpati Tua ini adalah kecenderungan kita untuk saling memperhatikan sesama manusia. Kita tidak boleh menonjolkan diri sendiri hanya untuk menunjukkan kedudukan dan ingin dihormati oleh orang lain. Tetapi, kita juga berusaha membangun kerja sama di antara sesama masyarakat.
Kakek :    Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong. Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolong jembatan ini perlu dibujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri sendiri. Tidak sekedar dihalau, diusir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil yang bisa membujuk…
 Nenek :    Ah…bagaimana, nanti kalau aku arisan dan ditanya teman-teman, bagaimana jawabku, pak. Coba bayangkan, bayangkan…
 Kakek :    Istriku, aku mengerti, bagaimana kau akan turun gengsi nanti. Tapi kau tidak usah khawatir, kalau kau dating ke arisan yang lima ribuan, dank au ditanya orang-orang apa pekerjaanku jawab saja diplomat, titik. Kolong jembatannya tidak usah disebut, kalau kau dating ke arisan yang seratusan, saya kira tak ada salahnya kalau kau ngomong diplomat kolong jembatan…

3.2.4    Nilai Ekonomi
     Nilai ekonomi yang nampak dalam drama sepasang merpati tua ini adalah banyaknya masyarakat Indonesia yang masih hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan misalnya hidup di kolong jembatan. Ini digambarkan dalam dialog berikut :
Kakek :    Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong. Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolong jembatan ini perlu dibujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri sendiri. Tidak sekedar dihalau, diusir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil yang bisa membujuk…

     Selain itu, tuntutan perekonomian yang seimbang untuk setiap orang yang berumah tangga. Termasuk kedudukan yang dapat menunjang faktor perekonomian keluarga.
Nenek :    Ah…bagaimana, nanti kalau aku arisan dan ditanya teman-teman, bagaimana jawabku, pak. Coba bayangkan, bayangkan…
 Kakek :    Istriku, aku mengerti, bagaimana kau akan turun gengsi nanti. Tapi kau tidak usah khawatir, kalau kau dating ke arisan yang lima ribuan, dank au ditanya orang-orang apa pekerjaanku jawab saja diplomat, titik. Kolong jembatannya tidak usah disebut, kalau kau dating ke arisan yang seratusan, saya kira tak ada salahnya kalau kau ngomong diplomat kolong jembatan…

O MANU BHE ANDO-ANDOKE

 Oleh: Wa Ode Irawati U.    

     Nando dhamani wawono, naandomo seghulu manu noposabhangka bhe segulu ndoke. Tamaka welo posabhangkahando maitu mina naompona rampahano diuno ndoke. Sekamaghuleo Ando-andoke nobhasi Manu dakumala daempali-mpali. Nomaho kaawu norondo gholeo, Ando-andoke nogharomo. Pasina norakomo Manu maka noburusi Wuluno. O Manu nopotahamighoo nokiido. Sabutuhano nopoli nofulei.
     O Manu nofulei kansuru. Kodawua kaawu mina nakodoho bhe kafuleihano nagha, gaara nowuramo loso kaelatehano Kabhongo. Kabhongo maitu sabhangkano mpuu-mpuuno. Nofekarimbamo maka nopesua welo loso kaelatehano kabhongo. Nowura o Manu norato, kabaruno kabhongo. Pasina netula-tulaghoomo Kabhongo kadhadhia sakotughuno podiuno Ando-andoke.
    Nofetingeke anagha, o Kabhongo kansuru nomamara. Nobisaramo Kabhongo ini,”Maimo dokala dofehalagho Ando-andoke nagha, mina naepandehao sepaliha maanano doposabha-sabhangka”. Pasina dofodhalamo fekirindo so dakumaradhagoo Ando-andoke ini. Gaara deghawamo fekiri dabhasi Ando-andoke dakumala we pulo we sembalino tehi, nawatu noponoghoo takeseno kantisa kobhakeno. Tamaka bhangka sokasawihando ini, bhangka karabu wutondo maighoo ne bhatu awo.
     Pasina noratomo wakutuuno o Manu nobhasi Ando-andoke dakumala we pulo we sembalino tehi. Ando-andoke knsuru nohunda. Sehae gholeo kaawu doeremo dokala. Dorato kaawu we wuntano tehi, dopobhantimo. Nokakuraaomu manu,” abhentaemo ho!!!” Nobhalomo dua Kabhongo,”intagi sampe naendalo sepaliha”.
    Iano nobisara peda amaitu, o Manu kansuru notitiwi bhangkanso ini. Sabutuhano bhangka kasawihando nobhenta pasina kansuru noburubu. O Kabhongo kansuru noleni we ghone. O Manu nohoro te wite. Ta Ando-andoke nomoisa we tehi nopode-podea nesalo tulumi. Nompona kaawu, rampano mina namande noleni, maka nomateghoo notondu we tehi.

PENJENISAN FRASA BERDASARKAN KATEGORI/KELAS KATA

Oleh: Wa Ode Irawati U.

BAB II
PEMBAHASAN

       Frasa merupakan satuan bahasa yang terdiri atas dua konstituen atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Syarat dari dua konstituen atau lebih ini harus memiliki keterikatan atau hubungan (terutama makna) yang erat. Konstituen yang satu boleh menjadi initi dari konstituen yang lainnya, dan konstituen yang lain dapat menjadi atribut atau penjelas dari konstituen ini.
       Berdasarkan kategori atau kelas kata pembentuknya, frasa dapat dibedakan atas konstituen yang dibentuk kata yang berkategori atau berkelas kata utama seperti verba, nomina, adjevtiva, dan numeralia dan kata yang berkategori kelas kata perangkai, seperti preposisi dan konjungsi. Frasa yang diisi oleh kata yang berkategori kelas kata utama menjadi inti frasa dan frasa yang diisi oleh kata yang berkategori perangkai menjadi perangkai frasa.
2.1 Frasa Berdasarkan Konstituen Inti
Berdasarkan konstituen inti, kategori frasa terbagi atas :
2.1.1    Frasa Nominal
      Frasa nominal adalah frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan kata nomina, atau frasa induknya adalah kelas nominal. Contoh :
a). sepatu baru
b). mahasiswa lama
      Frasa sepatu baru adalah frasa nominal, karena memiliki distribusi yang sama dengan kelas kata nomina, yaitu sepatu.
      Frasa mahasiswa lama adalah  rasa nominal, karena memiliki distribusi yang sama dengan kelas kata nomina, yaitu mahasiswa.
Konstituen yang dicetak miring merupakan inti dari frasa nominal.
2.1.2    Frasa Verbal
      Frasa verbal adalah frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan kelas kata verba. Contoh :
a). sudah tidur
b).sering berlari
      Frasa sudah tidur merupakan frasa verbal, karena memiliki distribusi yang sama dengan kata verba, yaitu datang.
      Frasa sering berlari adalah frasa verbal, karena memiliki distribusi yang sama dengan kata verba, yaitu berlari.
      Konstituen yang dicetak miring merupakan inti dari frasa verbal.
2.1.3    Frasa Adjektival
Frasa adjektival adalah frasa yang distribusinya sama dengan kata adjektiva. Contoh :
a). baik sekali
b). kurang manis
Frasa baik sekali merupakan frasa adjektival, karena memiliki distribusi yang sama dengan kata adjektiva, yaitu baik.
Frasa kurang manis adalah frasa adjektival, karena memiliki distribusi yang sama dengan kata adjektiva, yaitu manis.
Konstituen yang dicetak miring merupakan inti dari frasa adjektival.
2.1.4    Frasa Numeral
Frasa numeral adalah frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan kata numeralia. Contah :
a). dua ekor
b). lima helai
Frasa dua ekor adalah frasa numeral, karena memiliki ditribusi yang sama dengan kata numeralia, yaitu dua.
      Frasa lima helai merupakan frasa numeral, karena memiliki distribusi yang sama dengan kata numeralia, yaitu lima.
Konstituen yang dicetak miring merupakan inti dari frasa numeral.

2.2    Frasa Berdasarkan Konstituen Perangkai
      Berdasarkan konstituen perangkai, frasa dibedakan atas :
2.2.1 Frasa Preposisional
      Frasa preposisional adalah sebagia penanda, diikuti oleh kata nomina, adjektiva, verba, numeralia sebagai petandanya. Contoh :
a).dengan tangkas
b). ke dalam hati
      Frasa dengan tangkas merupakan frasa preposisional, karena terdiri atas preposisi dengan sebagai penanda dan diikuti adjektiva tangkas sebagai petanda.
      Frasa ke dalam hati adalah frasa preposisional, karena terdiri atas preposisi ke dalam sebagai penanda dan diikuti nomina hati sebagai  petanda.
2.2.2 Frasa Konjungsional
      Frasa konjungsional adalah frasa yang memiliki distribusi sama dengan kata konjungsi. Contoh :
a).sampai bertemu lagi
b). untuk anda
      Frasa sampai bertemu lagi merupakan frasa konjungsional, karena memiliki distribusi yang sama dengan konjungsi, yaitu sampai.
      Frasa untuk anda adalah frasa konjungsional, karena memiliki distribusi yang sama dengan konjungsi, yaitu untuk.


SINOPSIS DAN ANALISIS CERPEN "ROBOHNYA SURAU KAMI"

Oleh: Wa Ode Irawati U.

    Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek Garin, yang meninggal secara mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari mendengar cerita bualan seseorang yang sudah dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun yang membacanya. Karena daya pikat itu, peneliti mencoba mengkajinya dan agar kajian ini, khususnya bab IV ini mudah dipahami agaknya perlu juga memaparkan sinopsis cerpen Robohnya Surau Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti yang dipaparkan di bawah ini.
     Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
     Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
     Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
    Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
     Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
    Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.

Tinjauan atas Unsur Intrinsik
    Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami itu sebagai berikut:

Tema  
     Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.
     “Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu:
     “Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
    Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya itu ternyata bersifat universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya A.A. Navis ini diteima oleh setiap orang.

Amanat
    Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya.
    Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini terdapat pada paragraf kelima halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di antaranya:
1.    Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain. Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 9.
“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal kepada Tuhan .…
    Dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita pengarangnya mengenai karangan untuk cepat marah.
2.    Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang di akhirat sana:

“Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula ( Hlm. 12 – 13 ).
Tidak hanya itu saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu:
3.     Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.
4.    Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan dalam cerpen ini:

“…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin .…” (hlm. 15).
5.    Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini halaman 16.

”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”

    Dan akhirnya amanat (d) dan (e) menjadi kunci amanat yang diinginkan pengarang untuk pembacanya. Kedua amanat itu kemudian dirumuskan, seperti yang sudah dituliskan pada bagian awal tentang amanat di atas.
Latar
    Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
Latar Tempat
    Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya :
    Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (hlm. 1 )
Latar Waktu
    Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….” (hlm. 10)
Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu, misalnya:
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh ………
Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek (hlm. 8)
“Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….” (hlm.10)

Latar Sosial
    Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek (hlm. 7)
Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu:
“Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan – Nya bagaimana ?” suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Soleh.
…………………………………………………………………………
“cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 13)
Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini (hlm.13), termasuk kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng orang lain dan akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada apa-apanya. Perhatikan pada berikut ini.
Haji soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya…”
Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia ?”
“Kerja”
“Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.
“ya.Dia pergi kerja.”

Alur (plot)
     Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti berikut.
Bagian Awal
      Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 7).
     Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan.
Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya ….
     Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya …. (hlm. 8)
Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.
Bagian Tengah
     Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:
Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. (hlm . 8)
Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan.
… Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. (hlm. 8)
Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik
Konplik ini berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.
“Kurang ajar dia.” Kakek menjawab.
“ Kenapa ? “
“ Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.” (hlm. 9)
Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokoh aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.
    Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.

Bagian Akhir
     Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise). Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya. Data berikut menggambarkan hal ini.
    Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa
“Ya. Dia pergi kerja.” (hlm. 16-17).
     Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab? Lalu di mana salahnya?
Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan.
     Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.7-8). Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?” (hlm.16).
Penokohan
    Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.

a. Tokoh Aku
   Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. Datanya seperti berikut.
     Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.(hlm.9).
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16).

b. Ajo Sidi
     Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk ini seperti berikut.
….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….(hlm.8-9)
Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.

c. Si Kakek
      Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
      Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi. Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.
     Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:
“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…(hlm.10).


d. Haji Saleh
    Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri sendiri.

6.    Titik Pengisahan
    Yang dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
Di dalam cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar….(hlm.7).
Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang….(hlm.8).
Akan tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan cerita ini diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirinya sebagai tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita akan tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan kata “Aku”. Walaupun begitu kata “Aku” ini merupakan kata ganti orang pertama pasif.
“Engkau ?”
“Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”
………………………………………………………………………
lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh –tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.

Gaya
     Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan.
     Di dalam cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
    Selain ini, pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol yang terdapat dalam cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru di sini merupakan simbol kesucian, keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarnya pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau keyakinan kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya. Bahkan ada pula yang keyakinannya terhadap Tuhan dan agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini tidak hanya tenggelam dalam KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan kelompoknya.
    Sedangkan majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini
    Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi” (hlm.8). Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan demikian penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.

Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di Kelas.
      Cerpen sebagai salah satu karya sastra jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen dapat dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan penetapan cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti kriteria yang sudah ditetapkan secara umum yaitu:
a.    Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan.
b.    Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.
      Berdasarkan kriteria-kritera inilah kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di kelas III SMU. Selain itu, akan lebih menarik lagi jika gurunya pun aktif-kreatif ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen tersebut. Namun demikian, agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan lancar, guru dan siswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari satu kali dan jangan coba-coba membaca ringkasannya.
Kesimpulan
     Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan kesesuaiannya sebagai bahan pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai berikut.
1.    Unsur-unsur Intrinsik
a.    Tema
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
b. Amanat
Amanat cerpen ini adalah :
1)    jangan cepat marah kalau diejek orang,
2)    jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3)    jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4)    jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5)    jangan egois.
c.    Latar
Latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

d.  Alur
      Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
e. Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.
1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
4) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.
f. Titik Pengisahan
     Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.
g. Gaya
    Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan sinisme.
2.    Berdasarkan uraian di atas, maka cerpen Robohnya Surau Kami sangat cocok /layak jika dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa yang digunakannya bisa dipahami oleh siswa SMU, konflik psikologis tokoh-tokohnya pun tidak terlalu sulit untuk dipelajari, selain itu konflik-konflik psikologis yang dimunculkan, masih sesuai dengan perkembangan psikologis dan pemikiran siswa SMU, dan latar budaya yang ditampilkannya pun masih tampak umum sehinga siswa yang berlatar belakang budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat menerimanya. Selain kriteria ini, guru pun harus membaca terlebih dahulu sebelum pembelajaran dimulai begitu pula dengan siswanya. Namun, jangan sekali-kali membaca ringkasan cerpen tersebut tanpa pernah membaca cerita itu seluruhnya. Juga, guru harus kreatif ketika sedang membelajarkan siswanya. Misalnya, guru harus mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa akan isi cerpen tersebut.


Saran

Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis meyarankan sebagai berikut
1.    Saran untuk guru
-    Guru yang sudah berani menetapkan cerpen sebagai bahan pembelajaran sastra harus pula membacanya berkali-kali agar memahami isinya.
-    Di dalam kegiatan pembelajaran, guru harus mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap cerita tersebut kemudian mengarahkannya ke dalam pengalaman siswa sehingga ketika siswa membahas cerita itu, bahasannya benar-benar berdasarkan pengalaman siswa.
-    Pemilihan bahan/materi pembelajaran sastra yang berbentuk cerpen sebaiknya mengikuti kriteria yang ada, yaitu bagaimana bahasanya, bagaimana kesesuaian psikologisnya, baik untuk tokoh cerita maupun pembacanya ying duduk di tingkat SMU, dan bagaimana latar budaya yang dimunculkan dalam cerita itu ? Tentu saja hal ini dilakukan guru sebelum pembelajaran dimulai.


2.    Saran untuk siswa
-     Sebaiknya siswa harus membaca cerpennya secara utuh berkali-kali agar memahami isinya.
-    Selain itu, baca pula buku-buku yang mengulas isi cerpen itu jika ada.
-     Berdiskusilah dengan penuh minat dan perhatian agar manfaat sastra bisa dirasakan
-    Jika mungkin dan sempat, ikutilah setiap seminar atau diskusi sastra di manapun.


DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi.1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Badudu, J.S. 1979. Sari Kesusasteraan Indonesia Jilid 2. Bandung: Pustaka Prima.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.1994. Metode Penelitian Seni Budaya Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
Esten, Mursal. 1984. Kesusastraan: Pengantar teori dan sejarah. Bandung: Angkasa.
Haryati, A. dan Winarto Adiwardoyo.1990. Latihan Apresiasi dan Sastra. Malang: Yayasan A3 Malang.
Hoerip, Satyagraha.1984. Cerita Pendek Indonesia 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat, edisi ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Prima.
Lubis, Mochtar. 1980. Teknik Mengarang. Jakarta : Kurnia Esa.
Sayuti, Suminto A.2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media.
Sukada, Made.1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung : Angkasa.
Suroto.1989. Teori dan Pembimbingan Apresiasi Sastra Indonesia untuk SMU. Jakarta : Erlangga.
Tarigan, Henri Guntur.1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.