Jangan Ragu Untuk Menuntut Ilmu

Kamis, 07 Juni 2012

PENGGUNAAN GAYA BAHASA PERBANDINGAN DAN PERTENTANGAN DALAM KORAN KENDARI POS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
     Bahasa yang digunakan para penulis dan jurnalis bisa sama saja, tetapi gayanya pasti berlaianan. Setiap penulis atau jurnalis, niscaya memiliki gaya bahasa masing-masing. Gaya bahasa itulah yang membedakan dirinya dengan penulis atau jurnalis yang lain. Seorang penulis atau jurnalis dikenal oleh masyarakat luas, anatara lain dari gaya bahasa yang digunakandalam karya-karyanya.
    Gaya bahasa adalah  bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan  serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yangb lebih umum. Pendek kata penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu (Dale, 1971:220 dalam Tarigan, 1985:5).
    Seorang jurnalis pada dasarnya seorang penulis, tetapi seorang penulis belum tentu seorang jurnalis. Seorang jurnalis berkualitas, dituntut tidak saja menguasai teknik jurnalistik seperti aspek-aspek peliputan, tetpai juga disyaratkan menguasai teknik dan aspek-aspek penulisan. Secara umum gaya bahasa terdiri atas empat bagian besar: gaya bahasa perbajdingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan. Namun, dalam makalah ini hanya membahas tentang gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan.

1.2    Masalah
   Adapun yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan dalam koran Kendari Pos edisi Rabu, 2 November 2011?”

1.3    Tujuan
   Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan pada koran Kendari Pos edisi Rabu, 2 November 2011.

1.4 Manfaat
    Manfaat penulisan makalah ini adalah:
1.    Bagi penulis, sebagai bahan pembelajaran dan penambahan pengetahuan mengenai gaya bahasa perbandingan dan pertentangan.
2.    Bagi pembaca, sebagai bahan perbandingan penggunaan gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan terhadap koran-koran lain dan sebagai referensi untuk makalah selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Gaya Bahasa Perbandingan
    Gaya bahasa perbandingan mencoba membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda. Dengan gaya bahasa perbandingan, kita akan mengetahui unsur-unsur apa saja yang dianggap sama dan unsur-unsur apa saja yang dianggap berbeda atau bahkan bertentangan satu sama lain.

2.1.1     Perumpamaan
    Membandingkan dua hal yang berbeda sehingga dianggap memiliki unsur-unsur persamaan di antara keduanya, disebut gaya bahasa perumpamaan. Dalam bahasa latin, perumpamaan disebut simile yang bermakna seperti. Menyebut sesuatu dengan seperti, berarti sifat-sifat atau ciri pokok yang melekat pada sesuatu yang akan dibandingkan, seolah disamarkan sehingga menjadi tidak tampak. Sebaliknya, sifat-sifat atau ciri pokok yang melekat pada objek perbandingan, seolah ditonjolkan sehingga tampak lebih mencolok.
    Para penulis hanya dapat menggunakan gaya bahasa perumpamaan ketika menulis tajuk rencana, artikel, kolom berbagai jenis cerita khas berwarrna (feature), catatan perjalanan, atau pelaporan mendalam (depthreporting). Gaya bahasa perumpamaan tidak boleh digunakan pada laporan jenis berita langsung (straight news) karena, menurut kaidah jurnalistik$ gaya bahasa ini termasuk subjektif. Etika dasar jurnalistik mengajarkan, seorang jurnalis tidak boleh bersikap subjektif dalam berita yang ditulisnya. Ia harus obyektif. Sikap objektif tidak hanya pada materi isinya. Tetapi, juga harus terlihat jelas pada susunan katanya.

2.1.2     Metafora
    Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan (Poerwadarminta, 1976:648). Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan. Gagasan yang pertama adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang menjadi objek. Gagasan yang kedua merupakan pembanding terhadap kenyataan pertama tersebut (Tarigan, 1983:141; 1985:183).
    Pada metafora, kata-kata penyaebut yang secara eksplisit menunjukkan adanya perbandingan yakni bagai, bak, ibarat, seperti, laksana, senagaja tidak dimunculkan. Seorang penulis atau jurnalis, dianjurkan untuk sesekali menggunakan metafora secara fungsional dan variatif dalam karya-karyanya seperti pada artikel, pojok, karikatur, dan cerita khas berwarna (feature).

2.1.3     Personifikasi
    Secara etimologis, personifikasi berasal dari bahsa latin, persona, yang berarti orang, pemain, pelaku, aktor, subjek, atau topenf dalam permainan drama dan sandiwara. Menurut Edgar Dale, dengan gaya bahasa personifikasi, kita memberikan ciri-ciri atau kualitas pribadi seseorang kepada gagasan atau benda-benda tidak bernyawa sehingga benda-benda tidak bernyawa itu seolah-olah menjadi hidup atau bernyawa seperti layaknya manusia (Dale, 1971:221).
Dalam reaksi yang berbeda, personifikasi adalah gaya bahasa perbandingan yang mengandaikan benda-benda mati, termasuk gagasan atau konsep-konsep abstrak, berperilaku seperti manusia yang bisa menggerakkan seluruh tubuhnya, berkata-kata, bernyanyi, bersiul, berlari, menari, melihat dan mencium. Personifikasi lebih tepat digunakan untuk karya-karya jurnalistik yang sifatnya soft news. Seorang jurnalis surat kabar harian menggunakan personifikasi secara terbatas, kecuali pada karya artikel, kolom, pojok, karikatur, kartun, laporan perjalanan, dan cerita khas berwarna (feature), dan sesekali pada teks foto. Sedangkan seorang jurnalis majalah mingguan berita, dapat setiap saat memakai personifikasi. Menurut teori jurnalistik, majalah mingguan berita merujuk kepada jurnalistik sastra. 


2.1.4     Depersonifikasi
    Gaya bahasa depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi. Depersonifikasi mengandaikan manusia atau segala hal yang hidup, bernyawa, sebagai benda-benda mati yang kaku beku. Gaya bahasa jenis ini, dalam bahasa jurnalistik digunakan terutama untuk menujukkan situasi, posisi, atau kondisi seseorang, sekelompok orang, atau sesuatu hal yang sifatnya pasif.
Seorang jurnalis, dianjurkan sering menggunakan depersonifikasi untuk melaporkan realitas kehidupan yang sarat denagn unsur ironi, paradoks, tragedi, dan bencana yang kerap datang silih berganti. Melalui depersonifikasi, seorang jurnalis dapat melukiskan kisah-kisah ironis dan tragis secara lebih tajam. Efek psikologis yang ditimbulkan pada khalayak, niscaya sangat dalam.

2.1.5     Alegori
    Alegori berasal dari bahasa Yunani, allegorein, yang berarti bicara secara kias atau bicara dengan menggunakan kias. Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan-gagasan yang dipertimbangkan. Alegori biasanya mengandung sifat-sifat moral atau spiritual manusia. Alegori dapat berbentuk puisis atau prosa. Fabel adalah sejenis alegori, yang di dalamnya binatang-binatang berbicara dan bertingkah laku seperti manusia (Tarigan, 1985: 24).
    Alegori sering kita temukan dalam bahasa jurnalistik majalah remaja dan majalah anak-anak. Tujuanya lebih banyak bersifat persuasif dan edukatif daripada argumentatif dan korektif.

2.1.6     Antitesis
    Antitesis berarti lawan yang tepat atau pertentangan yang sebenarnya (Poerwadarminta, 1976:52). Antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan (Ducrot dan Todorov, 1981:277 dalam Tarigan, 1985:27).4br />Antitesis termasuk salah satu gaya bahasa andalan dalam dunia jurnalistik sastra. Antitesis membuat laporan jurnalistik yang sifatnya faktual, menjadi seolah-olah karya fiksi yang sifatnya imajisional. Artinya cukup sarat dengan lukisan suasana serta pengembangan karakter khas dari para pelaku yang terlibat dalam cerita itu. Dalam jurnalistik sastra, suasana dan karakter, tidak selamanya dikatakan, tetapi justru lebih banyak dikisahkan, menyatu dalam cerita.

2.1.7     Pleonasme dan Tautologi
     Pleonasme adalah pemakaian kata mubazir atau berlebihan yang sebenarnya tidak perlu (Poerwadarminta, 1976:761). Suatu acuan disebut pleonasme apabila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh (Keraf, 1985:133). Pleonasme bisa disebut juga penegasan terhadap suatu kata atau konsep yang sudah tegas dan jelas.
Sedangkan tautologi adalah penegasan terhadap suatu hal yang mengandung unsur perulangan tetapi dengan menggunakan kata-kata yang lain. Bahasa jurnalistik tidak menyukai pleonasme dan tautologi karena keduanya bertentangan dengan prinsip keringkasan dan kelugasan.

2.1.8     Perifrasis
    Perifrasis adalah sejenis gaya bahasa yang agak mirip denagn pleonasme. Kedua-duanya mempergunakan kaa-kata lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Walaupun begitu terdapat perbedaan yang penting di antar keduanya.pada gaya perifrasis, kata-kata yang berlebihan itupada prinsipnya dapat diganti denagn sebuah kata saja (Keraf, 2004:134). Bahasa jurnalistik menekankan, perifrasis tidak cocok digunakan untuk berbagai karya yang ditulis oleh para jurnalis karena sarat dengan unsur pemborosan kata. Kalaupun terpaksa hanya dipakai sesekali saja.

2.1.9     Antisipasi (prolepsis)
     Kata antisipasi berasal dari bahasa latin, anticipatio, yang berarti mendahului atau penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi (Shadily, 1980:234). Gaya bahasa antisipasi atau prolepsis sebenarnya lebih banyak ditemukan dalam bahasa tutur atau bahasa percakapan. Tetapi pengaruh bahasa percakapan itu tidak jarang merembes pula ke dalam ragam bahasa tulis.
    Seorang jurnalistik semestinya mewaspadai gejala bahasa tutur dalam karya-karya yang ditulis, disiarkan, atau ditayangkannya dalam media massa. Pemakaian antisipasi atau prolepsis banyka ditemukan jurnalistik olahraga. Sepakbola misalnya, tidak sekedar menampilkan berita pertandingan, tetpai juga mengungkap banyak aspek lain yang menyertainya. Berita sebelum selama, setelah pertandingan, sangat digemari khalayak, serta senantiasa dinanti. Antisipasi atau prolepsis juga tidak jarang kita temukan dalam jurnalistik kriminal (crime journalism). Para jurnalis peliput berita-berita hukum dan kriminalitas, sama seperti jurnalis peliput berita-berita olahraga, cukup menyukai antisipasi atau prolepsis.

2.1.10    Koreksio (Epanortosis)
    Dalam berbicara atau menulis, adakalanya kita ingin menegaskan sesuatu, tetapi kemudian kita memperbaikinya atau mengoreksinya kembali. Gaya bahasa seperti ini biasa disebut koreksio atau epanortosis.
    Untuk berbagai jenis tulisan bernada informal, tidak serius, ringan, bermaksud menghibur, bahasa jurnalistik tidak melarang penggunaan koreksio. Gaya bahasa ini sesekali bahkan dianjurkan dipakai sebagaibentuk variasi kalimat sekaligus untuk menghindari kejenuhan.

2.2    Gaya Bahasa Pertentangan
    Gaya bahasa pertentangan membandingakn dua hal yang berlawanan atau bertolak belakang. Gaya bahasa jenis ini cukup banyak ditemukan dalam berbagai karya jurnalistik.



2.2.1    Hiperbola
    Hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung unsur pernyataan yang melebih-lebihkan jumlahnya, ukuranya, atau sifatnya, dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frasa, atau kalimat (Tarifan, 1985:55).
   Seorang penulis atau jurnalis, disarankan untuk lebih berhati-hati menggunakan hiperbola. Jika tidak, bukan informasi akurat yang disampaikan kepada khalayak, melainkan justru penjelasa yang serba samar dan bahkan cenderung menyesatkan. Seorang jurnalis tetap harus bersikap objektif, akurat, dan berimbang.

2.2.2    Litotes
     Litotes adalah majas yang dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan. Litotes mengurangi atau melemahkan kekuatan pernyataan yang sebenarnya (Moeliono, 1984:3). Litotes menurut guru besar linguistik, adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikecil-kecilkan, dikurangi dari kenyataan yang sebenarnya, misalnya untuk merendahkan diri (Tarigan, 1985:58). Dalam redaksi yang berbeda, seperti diegaskan Dale, litotes yang berasal dari Yunani, litos yang berarti sederhana, adalah kebalikan dari hiperbola. Litotes adalah gaya bahasa yang membuat pernyataan mengenai sesuatu dengan cara menyangkal atau mengingkari kebalikannya (Dale, 1971:237).
    Terhadap ungkapan-ungkapan bernada litotes, para jurnalis sudah tentu harus jeli, jangan sampai terjebak dan mengutipnya mentah-mentah. Seorang jurnalis harus kaya informasi dan bersikap kritis. Ia harus melakukan konfirmasi ke berbagai sumber, agar khalayak memperoleh informasi yang sebenarnya. Denagn sikap kritis, ia tidak akan sampai, seolah-olah, terhipnotis oleh ungkapan atau pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh narasumber. Dilihat dari sisi logika, karyanya harus tetap mencerminkan visi akademis.

2.2.3    Ironi
    Ironi adalah majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok. Maksud ini dapat dicapai dengan mengemukakan tiga hal: (a) makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya, (b) ketaksesuaian antara suasana yang diketengahkan dan kenyataan yang mendasarinya, (c) ketaksesuaian antara harapan dan kenyataan (Moeliono, 1984:3). Ironi adalah sejenis gaya bahasa yang mengimplikasikan sesuatu yang nyata berbeda, bahkan adakalnya bertentangan dengan sebenrnya yang dikatakan itu. Ironi ringan merupakan suatu bentuk humor, tetapi ironi berta atau ironi keras biasanya merupakan suatu bentuk sarkasme atau satire (Tarigan, 1985:61).
    Dalam perspektif bahasa jurnalistik, ironi umumnya digunakan sebagai salah satu bentuk pemenuhan fungsi koreksi (social control) media massa sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang. 

2.2.4    Oksimoron
    Kata oksimoron berasal dari bahasa latin, okys dan moros yang berarti gila (Tarigan, 1985:63). Oksimoron adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung penegakan atau pendirian suatu hubungan sintaksis baik koordinasi maupun determinasi, antara dua antonim (Ducrot dan Todorov, 1981:278). Oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung unsur pertentnag dengan mempergunakan kta-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama (Keraf, 1985:136; 2004:136).
     Dalam perspektif jurnalistik, oksimoron bisa digunakan untuk mengingatkan tentang berbagai pilihan yang dapat ditempuh masyarakat. Pada akhirnya, pilihan apapun yang diambil masyarakat, pasti ada konsekuensi dan resikonya. Secara filosofis, oksimoron mengajarkan masyarakat untuk mengembangkan sikap tanggung jawab dan kemandirian.

2.2.5    Satire
     Uraian yang harus ditafsirkan lain dari makna permukaanya disebut satire. Kata satire diturunkan dari kata satura yang berarti talam yang penuh berisi bermacam-macam buah-buahan. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis dan estetis (Keraf, 1985:144; 2004:144).

2.2.6    Inuendo
     Inuendo adalah sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Gaya bahasaini menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau ditinjau sambil lalu saja (Keraf, 1985:144; 2004:144).
Secar ideologis dan sosiologis, media massa di Indonesia sangat menyukai inuendo. Denagn inuendo, orang atau pihak-pihak yang terkena sasaran kritik tidak akan tersinggung atau merasa dipermalukan di depan umum.mereka menerima kritik media massa dengan lapang dada karena kritik yang dilontarkan dianggap rasional dan proposional. Inuendo, memang salah satu jenis gaya bahasa yang lebih menonjolkan aspek rasional. Para jurnalis sejak dini diajarkan untuk menggunakan inuendo.

2.2.7    Antifrasis
    Antifrasis adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Bila diketahui bahwa yang hadir adalah seorang yang kurus, lalu dikatakan si gendut telah hadir maka jelas gaya bahasa tersebut adalah antifrasis (Tarigan, 1985:75).
Antifrasis termasuk jenis gaya bahasa pertentangan murni karena membicarakan suatu keadaan yang berlaku sebaliknya dari apa yang dikatakan. Pada dunia atau kelompok-kelompok masyarakat yang sarat dengan konflik, antifrasis tumbuh subur. Setiap orang bahkan cenderung untuk memnuculkan antifrasis versinya sendiri. Bahasa jurnalistik sebaiknya tidak terjebak dalam iklim dan kecenderungan demikian. Seorang jurnalis dibekali perangakat moral dan rujukan profesional untuk tetap bersikap objektif, berimbang, dan netral.

2.2.8    Paradoks
    Paradoks adalah suatu pernyataan yang bagaimanapun diartikan selalu berakhir dengan pertentangan (Shadily, 1984:2552). Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya (Keraf, 1985:136; 2004:136). Paradoks termasuk salah satu jenis gaya bahasa yang paling disukai para penulis dan jurnalis.
Dengan paradoks, penulis atau jurnalis dapat menunjukkan dengan tegas, betpa tokoh, subjek cerita, atau narasumber yang dikisahkan, benar-benar sedang menghadapi keadaan atau tekanan tertentu, baik secara psikologis maupun sosiologis.

2.2.9    Klimaks
    Kata klimaks berasal dari bahasa Yunani, klimax yang berarti tangga. Klimaks adalah sejenis gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makin lama mengandung penekanan. Kebalikannya adalah antiklimaks (Shadily, 1984:1975). Klimaks menunjukkan suatu urutan peristiwa atau penyampaian gagasan secara kronologis. Klimaks berbicara dari yang terbawah sampai yang tertinggi atau titik puncak. Klimaks kerap ditemukan pada karya cerita khas berwarna (feature) yang mengandung unsur kejutan, misteri, atau petualangan.

2.2.10    Antiklimaks
    Antiklimaks adalah kebalikan dari gaya bahasa klimaks. Sebagai gaya bahasa, antiklimaks merupakan suatu acuan yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Gaya bahasa antiklimaks dapat digunakan sebagai suatu istilah umum yang masih mengenal spesifikasi lebih lanjut, yaitu dekrementum, katabasis, dan batos.
    Dekrementum adalah semacam antiklimaks yang berwujud menambah ggasan yang kurang penting pada suatu gagasan yang penting. Katabasis adalah sejenis gaya bahasa antiklimaks yang mengurutkan sejumlah gagasan yang semakin kurang penting. Batos adalah sejenis gaya bahasa antiklimaks yang mengandung penukikan tiba-tiba dari suatu gagasan yang sangat penting ke suatu gagasan yang sama sekali tidak penting (Tarigan, 1985:81-82).
    Media massa kita kerap dituding sebagai asosial. Artinya lebih banyak menyuarakan posisi dan prestasi kaum pejabat daripada memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam bahasa akademis, media massa kita lebih banyak berorientasi vertikal daripada horizontal dan diagonal. Dalam beberapa hal, media massa kita dikritik pula terlalu memihak pemilik modal daripada bersikap netral.
    Antiklimaks berupaya melawan kecenderungan negatif demikian. Antiklimaks melihat realitas sosial dengan jernih. Tak selamanya sukses (positif ) yang diangkat media massa. Pada saat yang sama, berbagai ekses (negatif) ditampilkan secara adil, objektif, dan berimbang. Selain itu, salah satu ciri utama bahasa jurnalistik adalah demokratis. Konsekuensinya, kata-kata elitis tidak boleh digunakan dalam bahasa jurnalistik. Kata-kata elitis, antara lain, kata-kata yang kerap digunakan para pejabat tinggi negeri, sarat dengan istilah teknis, banyak diselipi kata asing, dan cenderung tidak tunduk terhadap kaidah tata bahasa indonesia.

2.2.11    Sinisme
     Sinisme adalah sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sinisme adalah ironi yang lebih kasar sifatnya. Namun kadang-kadang sukar ditarik batas yang tegas antara keduanya (Tarigan, 1985:91). Sinisme adalah salah satu gaya bahasa yang paling banyak pemakainya di berbagai instansi pemerintah dan swasta, dari pejabat tertinggi sampai staf terbawah, selalu saja mendapat hembusan angin sinisme karena berbagai sebab dan latar belakang.
     Sinisme sejak lama seolah menjadi budaya. Sinisme, pada sisi lain, mencerminkan masih maraknya ketimpangan sosial-ekonomi, ketidakadilan, dan sikap-sikap diskriminatif lainya di negara kita. Prinsip jurnalistik tidaklah dibangun di atas pijakan sinisme, tetapi justru di atas landasan realisme. Betapapun demikian, bahasa jurnalistik kaya kata dan nuansa.  Selain itu, nbahasa jurnalistik tidak lepas dari fungsi koreksi (social control, to influence) yang melekat dalam dirinya. Secara fungsional dan kontekstual, penulis atau jurnalis perlu menggunakan sinisme ketika menyajikan karya-karya jurnalistik yang bersifat korektif. Sinisme terutama dapat dituangkan dalam tajuk rencana, pojok, karikatur, artikel, kolom, surat pembaca, dan jenis kartun.

2.1.12 Sarkasme
      Bila dibandingkan dengan ironi dan sinisme, sarkasme lebih kasar. Sarkasme adalah jenis gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti hati (poerwadarminta,1976: 874). Kata sarkasme berasal dari bahasa Yunani sarkasmos yang diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti meronek-robek daging seperti anjing, menggigit karena marah, atau bicara dengan kepahitan (Keraf, 1985:144; 2004:144). Ciri utama gaya bahasa sarkasme adalah selalu mengandung kepahitan dan celaan yang getir, menyakiti hati, dan kurang enak didengar (Tarigan, 1985:92).
     Dalam perspektif jurnalisme, sarkasme berkembang dalam suatu masyarakat sebagai cerminan masyarakat itu sedang sakut. Sarkasme menunjukkan kaudah normatif pada budaya peradaban tinggi, dianggap tidak lagi efektif dalam menjawab persoalan sosial-ekonomi dan pollitik suatu bangsa. Orang tidak lagi memilih pola pikir logis-etis tetapi lebih suka mengembangkan cara-cara sikap dan perilaku sadis-anarkis.
     Bahasa jurnalistik tunduk kepada kaidahetis. Jadi, bahasa jurnalistik terlarang menggunakan kata-kata kasar, menyakiti hati, tidak enak didengar, vulgar, surat sumpah-serapah, dan lebih jauh lagi mencerminkan pola perilaku orang, atau kelompok masyarakat yang tidak beradab. Redaktur atau editir media massa, harus mewaspadai kemungkinan lolosnya sarkasme dalam karya-karya yang ditulis para penulis atau jurnalis. Redaktur harus menyadarai, sarkasme pada bahasa jurnalistik bisa muncul dari banyak pintu. Bisa melalui kalimat kutipan atau ucapan langsung, bisa pula melalui kalimat berita atau pelaporan yang ditulis para jurnalis.

2.3    Analisis Penggunaan Gaya Bahasa Perbandingan Pada Koran Kendari Pos Edisi Rabu, 2 November 2011
2.3.1    Perumpamaan
Gaya bahasa perumpamaan adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berbeda sehingga dianggap memiliki unsur persamaan diantara keduanya. Gaya bahasa ini terdapat dalam koran Kendari Pos edisi Rabu, 2 November 2011 yaitu :
Buku ini diibaratkan gerimis yang turun sekali-sekali di tengah tanah yang gersang.
Malah pesangon pensiun itu ibarat warisan bagi keluarga.

2.3.2    Personifikasi
    Gaya bahasa personifikasi adalah gaya bahasa perbandingan yang mengandaikan benda-benda mati,  termasuk gagasan atau konsep-konsep yang abstrak, berperilaku seperti manusia yang bisa menggerakkan seluruh tubhnya. Gaya bahasa ini terdapat dalam koran Kendari Pos edisi Rabu, 2 November yaitu:
Penulis memaknai bahasa tubuh Rektor Unversitas Haluoleo Prof. Usman Rianse yang begitu bersemangat bernyanyi dan memanggil dosen-dosen lain untuk mendampinginya.
Tidak tersimpan rapat di lemari arsip (jika ada) dibalik kukuhnya tembok-tembok gedung universitas.
......., begitu banyaknya intelektual dan cendekiawan yang tercipta dari bangku-bangku perguruan tinggi, namun tidak ada yang bisa dilihat dari kecendekiawanannya.

2.4    Analisis Pengunaan Gaya Bahasa Pertentangan Pada Koran Kendari Pos Edisi Rabu, 2 November 2011
2.4.1 Oksimoron
    Gaya bahasa oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung penegakan atau pendirian suatu hubungan sintaksis baik koordinasi maupun determinasi antara dua antonim. Gaya bahasa ini terdapat dalam koran kendari Pos edisi Rabu, 2 November 2011 yaitu :
Suharso siap rujuk, cerai juga siap.
BAB III
 PENUTUP


3.1 Simpulan
      Penggunaan gaya bahasa bagi seorang penulis atau jurnalistik sangat banyak ditemukan. Karena gaya bahasa dapat menjadi ciri khas bagi penulis atau jurnalis tersebut. Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat dilihat penggunaan gaya bahasa pada koran Kendari Pos edisi Rabu, 2 November 2011, lebih banyak menggunakan gaya bahasa perbandingan daripada gaya bahasa pertentangan.

3.2 Saran
     Analisis penggunaan gaya bahasa pada koran Kendari Pos edisi Rabu, 2 November 2011 hanya terbatas pada penggunaan gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan saja. Analisis lanjutan tentang penggunaan gaya bahasa secara umum yaitu gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, gaya bahasa perulangan masih dapat dilakukan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar